Jelas dan Samar


Sebagian orang belakangan memiliki teori dalam masalah pemberian udzur kejahilan, khususnya dalam perkara yang dianggap jelas (yang tidak menerima udzur kejahilan) dan tidak jelas (menerima udzur kejahilan). Mereka katakan perkara tawassul (syirkiy), tabarruk (syirkiy), dan istighatsah (syirkiy) adalah perkara yang jelas; sedangkan perlara bid’ah penyimpangan dalam al-asmaa’ wash-shifaat adalah perkara yang samar. Cukup ‘dimaklumi’, karena banyak ulama terdahulu memberikan udzur dalam masalah asmaa’ wa shifaat saat merebak bid’ah Jahmiyyah.

Sebenarnya, masalah jelas atau samar secara umum tidak dapat dimutlakkan dengan pengklasifikasian masalahnya, antara satu orang dengan yang lain karena perbedaan pengetahuan dan daya nalarnya. Begitu faktor keberadaan ilmu dan ulama (sebagai penyampai ilmu) itu sendiri, sehingga kondisinya tidak dapat disamakan antara satu tempat dengan tempat yang lain, atau satu masa dengan masa yang lain. Berikut sedikit uraiannya:
Dari An-Nu'maan bin Basyiir radliyallaahu 'anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda :
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 52 & 2051 dan Muslim no. 1599].
Dalam hadits di atas disebutkan tentang syubuhaat : 'laa ya'lamuhunna katsiirun minan-naas'. Dalam riwayat lain:
لا يَدْرِي كَثِير مِنْ النَّاس أَمِنَ الْحَلال هِيَ أَمْ مِنْ الْحَرَام
"Kebanyakan orang tidak mengetahui apakah statusnya halal ataukah haram" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1205].
Mafhuum hadits ini, perkara syubuhaat dapat diketahui status dan hakekatnya oleh beberapa orang manusia yang memiliki ilmu. Khususnya dalam hal ini adalah para ulama dan orang-orang yang mendedikasikan dirinya pada ilmu. Hal ini sama seperti firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” [QS. Aali ‘Imraan : 7].
Terjemahan di atas adalah dengan mewaqafkan sampai dengan ayat ‘laa ya’lamu ta’wiilahu illallaah’. Namun sebagian salaf dan ulama setelahnya seperti Ibnu ‘Abbaas, Mujaahid, Ar-Rabii’, dan yang lainya membacanya dengan washal :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan dan orang-orang yang mendalam ilmunya” [QS. Aali ‘Imraan : 7].
Silakan baca pembahasan ini dalam Tafsiir Ath-Thabariy 6/203-204.
Dalil di atas menunjukkan bahwa setiap orang berbeda-beda tingkat keilmuan dan pemahamannya. Tidak dapat disamakan dengan penghukuman : jika A dan B mengetahui, pasti C mengetahuinya. Mesti diteliti terlebih dahulu.
Perbedaan tempat/negeri.
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ، فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: مَهْ، مَهْ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ "، فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ دَعَاهُ، فَقَالَ لَهُ: " إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ، لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ "، أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ، فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ، فَشَنَّهُ عَلَيْه
Dari Anas bin Maalik, ia berkata: Ketika kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah , tiba-tiba datang seorang Arab badui lalu berdiri kencing di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah berkata : “Mah mah”.[1] Kemudian Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian memutusnya, biarkanlah ia hingga selesai kencing”. Maka para shahabat meninggalkannya hingga ia selesai kencing. Lalu Rasulullah memanggil orang tersebut dan berkata berkata : “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh untuk kencing dan buang ludah, karena masjid itu hanyalah untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, shalat, dan membaca Al-Qur’an”. – atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah - . Kemudian beliau memerintahkan salah seorang shahabat untuk mengambil seember air dan menyiramnya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 285].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
فدل ذلك على استعمال الرفق بالجاهل - فإنه بخلاف العالم - وترك اللوم له والتثريب عليه
“Hadits itu menunjukkan pada penggunaan sikap lemah lembut kepada orang yang jahil – berbeda halnya dengan orang yang ‘alim – dan meninggalkan celaan dan cercaan kepadanya” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal, 17/275].
Ketika menjelaskan salah satu faedah hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
أنه ينبغي، بل يجب على الإنسان أن ينزل كل إنسان منزلته، لو إن الذي حصل منه البول في المسجد كان رجلا من أهل المدينة ممن يعرفون الأحكام الشرعية ما نعامله هذه المعاملة، لكن عاملنا هذا الأعرابي لأن الغالب عليه الجهل
“Dan hendaknya, bahkan wajib bagi seseorang untuk menempatkan setiap orang sesuai dengan posisi/kedudukannya (yang sesuai). Seandainya yang kencing di masjid tadi adalah orang dari kalangan penduduk Madiinah yang mengetahui hukum-hukum syari’at, kami kita tidak menyikapinya dengan perlakuan tersebut (yaitu sabar dan lemah-lembut tanpa menghardiknya). Namun kita menyikapi orang Arab Badui itu karena yang dominan ada padanya adalah kebodohan/kejahilan” [Fathu Dzil-Jalaali wal-Ikraam, 1/100].
Ilmu di Madinah tersebar dengan keberadaan Rasulullah dan para pembesar shahabat (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Mu’aadz, Ibnu Mas’uud, dan yang lainnya) radliyallaahu ‘anhu; sedangkan di perkampungan Badui tidak demikian. Orang Arab Badui tinggal di perkampungan terpisah dari Madiinah sehingga akses mereka terhadap ilmu dan ulama tidak dapat disamakan dengan para shahabat yang tinggal di Madiinah.
Perbedaan masa.
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنْ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ وَلَا صِيَامٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنْ النَّارِ ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ia berkata : Rasulullah bersabda : “(Ajaran) Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah dan apa itu sedekah, dan akan ditanggalkan Kitabullah di malam hari, sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun. Yang tersisa adalah beberapa kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah', maka kami mengucapkannya". Shilah berkata kepadanya : " Apakah perkataan Laa ilaaha illallaah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji, dan shadaqah?". Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzifah menjawab : “Wahai Shilah, kalimat itu (laa ilaaha illallaah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkan itu sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan Al-Haakim 4/473, shahih].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Akan tetapi Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), orang-orang mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka pun sesat dan menyesatkan (orang lain)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 100 dan Muslim no. 2673].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَكَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ قَدْ يَنْشَأُ فِي الْأَمْكِنَةِ وَالْأَزْمِنَةِ الَّذِي يَنْدَرِسُ فِيهَا كَثِيرٌ مِنْ عُلُومِ النُّبُوَّاتِ ، حَتَّى لَا يَبْقَى مَنْ يُبَلِّغُ مَا بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ مِنْ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ ، فَلَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا يَبْعَثُ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ ، وَلَا يَكُونُ هُنَاكَ مَنْ يُبَلِّغُهُ ذَلِكَ ، وَمِثْلُ هَذَا لَا يَكْفُرُ؛ وَلِهَذَا اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ نَشَأَ بِبَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ ، وَكَانَ حَدِيثَ الْعَهْدِ بِالْإِسْلَامِ ، فَأَنْكَرَ شَيْئًا مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ : فَإِنَّهُ لَا يُحْكَمُ بِكُفْرِهِ حَتَّى يَعْرِفَ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ
“Dan banyak manusia hidup di tempat dan zaman yang terkikis banyak ilmu kenabian, hingga tidak tersisa orang yang menyampaikan syari’at yang Allah utus Rasul-Nya dengannya berupa Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah); sehingga mereka pun tidak mengetahui banyak syari’at yang Allah utus Rasul-Nya dengannya. Tidak ada pula di sana orang yang menyampaikannya. Maka kondisi yang demikian, tidak boleh dikafirkan. Oleh karena itu, para imam sepakat bahwa orang yang hidup di daerah pelosok yang jauh dari ulama dan keimanan, serta dirinya baru masuk Islam, lalu ia mengingkari satu perkara dari hukum-hukum yang jelas lagi mutawatir ini; ia tidak dihukumi kafir hingga dirinya mengetahui syari’at yang dibawa oleh Rasul ” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
Hadits di atas menunjukkan bahwa antara satu masa dan masa lainnya tidaklah sama dalam hal keberadaan ilmu dan ulama. Semakin jauh dari masa kenabian, secara umum semakin berkurang ilmu dan semakin banyak penyimpangan dan bid’ah. Apa yang diketahui orang dahulu belum tentu diketahui orang yang hidup kemudian.
Oleh karena itu, sebagian ulama terdahulu ada yang menganggap permasalahan kalaamullah (ketika terjadi fitnah Jahmiyyah) seperti permasalahan Laa ilaha illallaah. Begitu juga dalam (sebagian) permasalahan asmaa’ wa shifaat lain. Yaitu, termasuk perkara yang jelas dan barangsiapa mengingkari atau menyelisihi apa yang telah disepakati, maka kafir dengan kekufuran yang jelas pula.
حَدَّثَنَا أَبُو الْفَضْلِ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّنْدَلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبَّاسٍ النَّرْسِيُّ، فَقُلْتُ: كَانَ صَاحِبُ سُنَّةٍ؟ فَقَالَ: رَحِمَهُ اللَّهُ قُلْتُ: بَلَغَنِي عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: مَا قُولِي: الْقُرْآنُ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، إِلا كَقَوْلِي: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ "، فَضَحِكَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وَسُرَّ بِذَلِكَ، قُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، أَلَيْسَ هُوَ كَمَا قَالَ؟ قَالَ: بَلَى،....
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja'far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang 'Abbaas An-Nursiy. Aku katakan : "Apakah ia Ahlus-Sunnah ?". Ia menjawab : "Semoga Allah merahmatinya". Aku berkata : "Telah sampai kepadaku darinya bahwa ia berkata : "Perkataanku bahwa Al-Qur'an bukan makhluk seperti perkataanku laa ilaha illallaah". Maka Abu 'Abdillah tertawa dan bergembira dengannya. Aku katakan : "Wahai Abu 'Abdillah, tidakkah perkara itu seperti yang dikatakannya ?". Abu 'Abdillah menjawab : "Ya….." [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii'ah 1/224-225 no. 192; sanadnya shahih].
‘Abbaas An-Nursiy namanya adalah Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Nashr An-Nursiy, Abul-Fadhl Al-Bashriy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 489 no. 3210].
أَخْبَرَنَا ابْنُ مَخْلَدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، وَذكرَ لَهُ رَجُلٌ أَنَّ رَجُلا قَالَ: إِنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ مَخْلُوقَةٌ وَالْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَقَالَ أَحْمَدُ: كُفْرٌ بَيِّنٌ، قُلْتُ لأَحْمَدَ: مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ؟ قَالَ: أَقُولُ: هُوَ كَافِرٌ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Makhlad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal : Satu ketika ada seorang menyebutkan padanya bahwa ada orang yang mengatakan : “Sesungguhnya nama-nama Allah itu makhluk, dan Al-Qur’an juga makhluk”. Maka Ahmad menjawab : “Kekufuran yang jelas”. Aku katakan kepada Ahmad : “Apakah orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk adalah kafir ?”. Ia menjawab : “Aku katakan : Dia kafir!” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 1/223 no. 188; shahih. Lihat juga Masaailul-Imaam Ahmad bi-Riwaayati Abi Daawud As-Sijistaaniy hal. 353 no. 1696-1697].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَسْنويهِ الْقَطَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّاغَانِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عُبَيْدٍ الْقَاسِمَ بْنَ سَلامٍ، يَقُولُ: " مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَقَدِ افَتَرَى عَلَى اللَّهِ، وَقَالَ عَلَى اللَّهِ مَا لَمْ يَقُلْهُ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin bin Hasnuuyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaaghaaniy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam berkata : “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, sungguh ia telah membuat kedustaan terhadap Allah. Ia mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Yahudi dan Nashara[2]” [idem, 1/224 no. 191; shahih].
وثنا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ الْوَاسِطِيُّ، وَعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ، قَالَا: ثَنَا شَاذُّ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ هَارُونَ، يَقُولُ: " مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ، فَهُوَ، وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، زِنْدِيقٌ، أَوْ قَالَ: عِنْدِي زِنْدِيقٌ "
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy dan ‘Abbaas Al-‘Anbariy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Syaadz bin Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar Yaziid bin Haaruun berkata : “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia – demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah melainkan-Nya – adalah zindiiq”. Atau ia berkata : “Menurutku ia zindiq” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Masaailul-Imaam Ahmad hal. 359 no. 1726; sanadnya hasan[3]. Lihat juga Khalqu Af’aalil-‘Ibaad oleh Al-Bukhaariy hal. 22].
Ulama terdahulu yang menghukumi zindiiq terhadap pelaku khalqul-qur’an diantaranya Maalik bin Anas, ‘Abdullah bin Idriis, Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, An-Nadlr bin ‘Abdil-Jabbaar rahimahumullah.
Zindiq menurut definisi para ulama adalah munafik yang menampakkan Islam (secara lahir) namun menyembunyikan kekufuran (dalam batin), meskipun dirinya melakukan shalat, berpuasa, haji, dan membaca Al-Qur’an. Baik dalam batinnya itu ia sebagai Yahudi, Nashrani, musyrik, atau penyembah berhala (watsaniy). Baik dirinya itu orang yang menafikkan pencipta dan kenabian, atau hanya menafikkan kenabian saja, atau hanya menafikkan kenabian nabi kita saja [Bughyatul-Murtaad oleh Ibnu Taimiyyah hal. 338].
Kekufuran orang yang dilabeli zindiq bukan kekufuran yang samar, namun kekufuran yang jelas dalam Islam.
Apalagi orang yang mengingkari ketinggian (al-‘ulluw) Allah di atas langit. Bid’ah pengingkaran terhadap sifat ‘ulluw lebih jelas kekufurannya dibandingkan bid’ah pengingkaran terhadap kalaamullah dalam kasus khalqul-qur’an !.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وإن كان يطلق القول بأن هذا الكلام كفر كما أطلق السلف الكفر على من قال ببعض مقالات الجهمية مثل القول بخلق القرآن أو إنكار الرؤية أو نحو ذلك مما هو دون إنكار علو الله على الخلق وأنه فوق العرش فإن تكفير صاحب هذه المقالة كان عندهم من أظهر الأمور فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Meskipun dalam hal ini dimutlakkan perkataan bahwasannya perkataan ini adalah kufur sebagaimana salaf memutlakkan kekufuran kepada orang yang mengatakan sebagian perkataan Jahmiyyah seperti perkataan khalqul-qur’aan ( = Al-Qur’an adalah makhluk), mengingkari ru’yah[4], atau yang semisal itu yang statusnya di bawah pengingkaran terhadap ketingian (‘ulluw) Allah di atas makhluk-Nya dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy, karena pengkafiran orang yang mengatakan ucapan ini[5] di sisi meraka termasuk perkara yang paling jelas/nampak. Sesungguhnya pengkafiran yang bersifat mutlak (at-takfiirul-muthlaq) seperti halnya ancaman yang bersifat mutlak (al-wa’iid al-muthlaq) yang tidak mengkonsekuensikan pengkafiran terhadap individunya, kecuali jika telah ditegakkan padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, hal. 164].
Ini adalah perkataan yang jelas dari Syaikhul-Islaam rahimahullah bahwa bid’ah pengingkaran terhadap sifat ‘ulluw Allah lebih besar daripada bid’ah khalqul-qur’an. Padahal, kita telah membaca bagaimana pandangan para imam terhadap bid’ah khalqul-qur’an.
Hal itu dikarenakan ilmu tentang sifat ‘ulluw Allah bukan hanya dapat dicapai dengan dalil, tapi juga dengan akal sehat dan fithrah. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذا تصريح من أبى حنيفة بتكفير من أنكر أن يكون الله فى السماء واحتج على ذلك بأن الله فى أعلى عليين وأنه يدعى من أعلى لا من أسفل وكل من هاتين الحجتين فطرية عقلية فان القلوب مفطورة على الاقرار بأن الله فى العلو وعلى أنه يدعى من أعلى لا من أسفل
“Ini merupakan tashriih dari Abu Haniifah tentang pengkafiran terhadap orang yang mengingkari bahwasannya Allah di atas langit. Ia berhujjah terhadap hal itu bahwa Allah di atas tempat yang tertinggi. Allah diseru dari atas (yaitu dengan menengadahkan tangan ke atas ketika berdoa – Abul-Jauzaa’), bukan dari bawah[6]. Dua macam hujjah ini adalah (hujjah) secara fithriyyah ‘aqliyyah. Sesungguhnya semua hati itu sesuai fithrahnya pada pengakuannya bahwasannya Allah di atas ketinggian dan Dia diseru dari atas, bukan dari bawah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/48-49].
Orang yang mengingkari ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, selain mengingkari dalil, juga mengingkari fitrah dan akal sehatnya.
Jika demikian, akankah kita tetap memutlakkan bid’ah pengingkaran sifat ‘ulluw sebagai perkara samar (khafiy) – sebagaimana perkataan ‘mereka’ ?[7].
Meskipun perkara nama dan sifat tersebut di atas di kalangan salaf dan ulama mutaqaddimiin merupakan perkara yang jelas – (lagi-lagi) bukan samar sebagaimana kata ‘mereka’ – , namun ketika tersebarnya kebodohan di kalangan awam akibat bid’ah yang disebarkan kaum Jahmiyyah, mereka (para ulama) memberikan udzur kejahilan bagi orang awam hingga tegak padanya hujjah.
Muhammad bin Idriis As-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
للهِ أَسْمَاءٌ وَصِفَاتٌ، جَاءَ بِهَا كِتَابُهُ ، وَأَخْبَرَ بِهَا نَبِيُّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ ، لاَ يَسَعُ أَحَداً قَامَتْ عَلَيْهِ الحُجَّةُ رَدُّهَا ، لأَنَّ القُرْآنَ نَزَلَ بِهَا ، وَصَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القَوْلَ بِهَا. فَإِنْ خَالَفَ ذَلِكَ بَعْدَ ثُبُوتِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ : فَهُوَ كَافِرٌ ، فَأَمَّا قَبْلَ ثُبُوْتِ الحُجَّةِ ، فَمَعْذُورٌ بِالجَهْلِ ، لأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لاَ يُدْرَكُ بِالعَقْلِ ، وَلاَ بِالرَّوِيَّةِ وَالفِكْرِ ، وَلاَ نُكَفِّرُ بِالجَهْلِ بِهَا أَحَداً إِلاَّ بَعْدَ انتهَاءِ الخَبَرِ إِلَيْهِ بِهَا
“Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang dijelaskan dalam Kitab-Nya dan dikhabarkan oleh Nabi-Nya kepada umatnya. Tidak ada kelonggaran bagi siapapun untuk menolaknya ketika telah tegak hujjah kepadanya, karena Al-Qur’an turun dengannya dan telah shahih dari Rasulullah perkataan tentangnya. Apabila ia menyelisihi hal itu setelah tetapnya hujjah padanya, maka ia kafir. Namun jika penyelisihannya itu sebelum tetapnya hujjah, maka ia diberikan ‘udzur kejahilan, karena ilmu tentang hal itu tidaklah dicapai dengan akal, pandangan, dan pemikiran. Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya kecuali setelah hal itu (hujjah/nash) sampai kepadanya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/79-80].
Perkataan Asy-Syaafi’iy sangat mirip dengan Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahumallah berikut:
ونظائرها مما وصف الله عز وجل بها نفسه أو وصف بها رسوله ﷺ مما لا تدرك حقيقة علمه بالفكر والروية، ولا نكفر بالجهل بها أحداً إلا بعد انتهائها إليه
“Sesungguhnya makna-makna yang telah aku sebutkan ini dan selainnya dari apa saja yang telah Allah ‘azza wa jalla sifatkan diri-Nya dengannya atau disifatkan oleh Rasul-Nya dengannya, yang hakekat ilmunya tidak dapat dicapai dengan akal pikiran maupun pengamatan; maka kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak mengetahuinya kecuali setelah hal itu (hujjah/nash) sampai kepadanya” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 140].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ثم الفلاسفة والباطنية هم كفار كفرهم ظاهر عند المسلمين كما ذكر هو وغيره وكفرهم ظاهر عند أقل من له علم وإيمان من المسلمين إذا عرفوا حقيقة قولهم لكن لا يعرف كفرهم من لم يعرف حقيقة قولهم وقد يكون قد تشبث ببعض أقوالهم من لم يعلم أنه كفر فيكون معذورا لجهلة
“Kemudian kaum Falaasifah (filosof) dan Baathiniyyah, mereka itu adalah kafir dengan kekufuran yang jelas menurut kaum muslimin, sebagaimana yang disebutkannya (Al-Ghazaaliy) dan yang lainnya.  Kekufuran mereka jelas bagi orang yang memiliki sedikit pengetahuan dan keimanan dari kaum muslimin apabila mereka mengetahui hakekat perkataan mereka. Akan tetapi tidaklah mengetahui kekufuran mereka orang yang tidak mengenal hakekat perkataan mereka (yang kufur). Kadang-kadang ada seseorang bergantung pada sebagian perkataan (kufur) mereka dimana ia tidak mengetahui perkataan itu kufur, sehingga ia diberikan ‘udzur atas kejahilannya tersebut” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Asfahaaniyyah, hal. 127-128].
Begitu juga kemudian ketika menyebar sebagian perkara kesyirikan di tengah kaum muslimin dengan dalih tawassul (syirkiy), tabarruk (syirkiy), atau istighaatsah (syirkiy) yang dikomandoi para ulama suu’ dan ahli bid’ah; maka para ulama juga memberi ruang udzur kejahilan bagi orang jahil yang tertipu syubhat mereka hingga tegak padanya hujjah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah , kita mengetahui dengan pasti[8] bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
Di lain tempat, setelah menjelaskan perbuatan kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan orang-orang di kuburan, Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذا الشرك إذا قامت على الإنسان الحجة فيه ولم ينته وجب قتله كقتل أمثاله من المشركين ولم يدفن في مقابر المسلمين ولم يصلَّ عليه وأما إذا كان جاهلا لم يبلغه العلم ولم يعرف حقيقة الشرك الذي قاتل عليه النبي صلى الله عليه وسلم المشركين فإنه لا يحكم بكفره ولا سيما وقد كثر هذا الشرك في المنتسبين إلى الإسلام ومن اعتقد مثل هذا قربة وطاعة فإنه ضال باتفاق المسلمين وهو بعد قيام الحجة كافر
“Ini adalah kesyirikan. Apabila telah tegak hujjah pada seseorang padanya namun ia tidak berhenti (dari perbuatan syirik tersebut), maka wajib untuk membunuhnya seperti pembunuhan terhadap orang yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang musyrik. Ia tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak pula dishalati. Namun apabila ia seorang yang jaahil yang belum sampai kepadanya ilmu yang membuatnya mengetahui hakekat kesyirikan yang membuat Nabi memerangi orang-orang musyrik, maka ia tidak dihukumi kafir. Khususnya, banyak kesyirikan ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka ia sesat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Setelah adanya penegakan hujjah, maka ia dikafirkan” [Jaami’ Al-Masaail, 3/151].
Atau perkara rukun Islam….. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما الفرائض الأربع فإذا جحد وجوب شيء منها بعد بلوغ الحجة فهو كافر وكذلك من جحد تحريم شيء من المحرمات الظاهرة المتواتر تحريمها كالفواحش والظلم والكذب والخمر ونحو ذلك وأما من لم تقم عليه الحجة مثل أن يكون حديث عهد بالاسلام أو نشأ ببادية بعيدة لم تبلغه فيها شرائع الاسلام ونحو ذلك أو غلط فظن أن الذين آمنوا وعملوا الصالحات يستثنون من تحريم الخمر كما غلط فى ذلك الذين استتابهم عمر وأمثال ذلك فإنهم يستتابون وتقام الحجة عليهم فإن اصروا كفروا حينئذ ولا يحكم بكفرهم قبل ذلك كما لم يحكم الصحابة بكفر قدامة بن مظعون وأصحابه لما غلطوا فيما غلطوا فيه من التأويل
“Adapun kewajiban-kewajiban rukun Islam yang empat (setelah syahadat), apabila ada seseorang mengingkari kewajibannya setelah sampai hujjah kepadanya, maka ia kafir. Begitu juga dengan orang yang mengingkari keharaman sesuatu yang jelas lagi mutawatir status keharamannya seperti perbuatan keji ( = zina), berbuat dhalim, berdusta, minum khamr, dan yang semisalnya. Namun bagi orang yang belum tegak padanya hujjah seperti orang yang baru masuk Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh (dari ilmu dan ulama) yang belum sampai kepadanya syari'at-syari'at Islam, atau keliru dengan menyangka bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dalam pengharaman minum khamr sebagaimana telah keliru orang-orang yang diminta 'Umar (bin Al-Khaththaab) untuk bertaubat, dan yang semisalnya; maka mereka diminta untuk bertaubat dan ditegakkan hujjah kepada mereka. Apabila mereka bersikeras melakukannya (setelah itu), maka dikafirkan - pada waktu itu - , dan mereka tidak dihukumi kafir sebelum itu. sebagaimana para shahabat tidak menghukumi kekufuran Qudaamah bin Madh'uun dan shahabat-shahabatnya ketika mereka keliru pada perkara yang mereka keliru dalam mena'wilkannya......"[9] [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/609-610].
Tentu para ulama memberikan fatwa demikian dengan landasan dalil. Diantaranya firman Allah ta’ala:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ * إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Dan Kami seberangkan Bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israel berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab: "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat” [QS. Al-A’raaf : 138-140].
Ibnul-Jauziy rahimahullah menjelaskan:
وهذا إخبار عن عظيم جهلهم حيث توهموا جواز عبادة غير الله بعدما رأوا الآيات
“Dan ini merupakan khabar tentang besarnya kejahilan mereka, yaitu ketika menyangka boleh beribadah kepada selain Allah setelah mereka melihat ayat-ayat (mu’jizat)” [Zaadul-Masiir, 3/254].
‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah menjelaskan:
يظهر من جواب موسى عليه السلام أنه وإن أنكر عليهم جهلهم : لم يجعل طلبهم ارتدادا عن الدين ، ويشهد لذلك أنهم لم يؤاخذوا هنا ، كما أوخذوا به عند اتخاذهم العجل ، فكأنهم هنا - والله أعلم - عذروا بقرب عهدهم
“Nampak dari jawaban Muusaa ‘alaihis-salaam bahwa ia (muusaa) – meskipun dirinya mengingkari mereka terhadap kejahilan mereka – tidak menjadikan permintaan mereka sebab murtad/keluar dari agama. Dan yang menjadi buktinya, di sini mereka tidak dihukum (dikenai dosa) sebagaimana mereka dihukum (dikenai dosa) ketika membuat patung anak sapi. Maka seakan-akan mereka di sini – wallaahu a’lam – diberikan udzur dikarenakan baru masuk Islam” [Majmuu’ Ar-Rasaail, 1/142].
Dalil-dalil lain tentang udzur kejahilan ini dapat dibaca di artikel 1, 2, 3. Atau membaca tag Udzur Kejahilan.
Intinya, kaedah umum memang menegaskan bahwa mengingkari perkara yang jelas yang termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah dapat mengkonsekuensikan kekufuran secara mu’ayyan tanpa perlu iqaamatul-hujjah. Sebaliknya, orang yang mengingkari perkara yang samar, maka tidak dikafirkan sebelum ditegakkan padanya hujjah. Ini kaedah umum. Namun ketika bicara penghukuman person/individu di tempat dan waktu tertentu; tetap harus diteliti dahulu (dengan memperhatikan kondisi orangnya dan permasalahannya). Permasalahan jelas dan samar itu dapat relatif sebagaimana disinggung di awal.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فكون الشىء معلوما من الدين ضرورة أمر اضافي فحديث العهد بالاسلام ومن نشأ ببادية بعيدة قد لا يعلم هذا بالكلية فضلا عن كونه يعلمه بالضرورة وكثير من العلماء يعلم بالضرورة أن النبى سجد للسهو وقضي بالدية على العاقلة وقضى أن الولد للفراش وغير ذلك مما يعلمه الخاصة بالضرورة وأكثر الناس لا يعلمه البتة
“Bahwasannya keberadaan perkara al-ma'luum minad-diin bidl-dlaruurah merupakan perkara idlaafiy. Baru masuk Islam dan orang yang hidup di daerah terpencil (jauh dari ilmu dan ulama) kadang tidak mengetahui semua hal ini, apalagi mengetahuinya secara dlaruurah (pasti/aksiomatik). Kebanyakan ulama mengetahui secara pasti bahwasannya Nabi melakukan sujud sahwi, memutuskan kewajiban diyat bagi 'aqilah (keluarga pembunuh), memutuskan anak zina milik ibunya, dan perkara lainnya yang diketahui secara pasti oleh orang-orang khusus (ulama) dimana kebanyakan manusia (awam) tidak mengetahuinya sama sekali” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/118].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata dalam satu dialog:
لو فرضْنا أنه يقول: أنا أعيش في قوم يذبحون للأولياء، ولا أعلم أن هذا حرام، فهمْتَ؟ هذه تكون خفية؛ لأن الخفاء والظهور أمر نسبي، قد يكون ظاهراً عندي ما هو خفيٌ عليك، وظاهرٌ عندك ما هو خفيٌّ عليَّ
“Seandainya kita asumsikan ada orang berkata : ‘Aku hidup di tengah kaum yang menyembelih untuk para wali, namun aku tidak mengetahui perbuatan ini haram’. Pahamkah engkau ?. Maka ini (baginya) merupakan perkara yang samar (khafiyyah), karena samar dan jelas itu adalah perkara yang nisbi. Kadang ada sesuatu yang jelas menurutku, namun samar bagimu. Begitu juga sebaliknya, jelas bagimu, namun samar bagiku...” [Pertemuan Terbuka, kaset no. 48, side B - http://islamqa.info/ar/111362].
Dengan memperhatikan dalil dan pengamalan ulama terdahulu dalam praktek pengkafiran individu, maka tidak dibedakan perkara jelas atau samar dengan pengklasifikasian yang tegas sebagaimana ‘mereka’ lakukan (seperti misal perkataan mereka : istighatsah adalah perkara yang jelas, sedangkan asmaa’ wa shifaat adalah perkara samar). Bisa jadi satu perkara tertentu dihukumi jelas bagi seseorang sehingga dalam pengkafirannya tidak perlu penegakan hujjah untuk dirinya; namun bagi orang lain di tempat yang lain, perkara itu baginya adalah perkara yang samar. Tidak dapat diglobalkan. Karena itu Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
فتجب إقامة الحجة قبل التكفير، وذلك في كل المسائل التي يمكن أن يجهلها الناس، فلا نقسم المسائل إلى مسائل ظاهرة ومسائل خفية؛ لأن الظهور والخفاء أمر نسبي، قد تكون المسألة ظاهرة عندي وخفية عند غيري، فلابد إذاً من إقامة الحجة وعدم التسرع في التكفير؛ لأن إخراج رجل من ملة الإسلام ليس بالأمر الهين، وهناك موانع تمنع من تكفير الشخص وإن قال أو فعل ما هو كفر
“Maka wajib menegakkan hujjah sebelum pengkafiran, dan itu berlaku pada setiap permasalahan yang dimungkinkan orang tidak mengetahuinya. Kami tidak membagi permasalahan menjadi permasalahan yang jelas dan permasalahan yang samar, karena jelas dan samar itu perkara yang nisbi (relatif). Kadang satu permasalahan adalah jelas menurutku, namun samar menurut selainku. Maka dalam hal ini harus ada penegakan hujjah dan tidak boleh tergesa-gesa dalam pengkafiran. Hal itu dikarenakan mengeluarkan seseorang dari agama Islam bukan perkara yang enteng. Terdapat penghalang-penghalang yang menghalangi pengkafiran individu, meskipun ia mengatakan atau melakukan perbuatan kufur”[10] [Pertemuan Terbuka, 16/48 – lihat juga yang semakna dalam Asy-Syarhul-Mumti’, 2/25].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – dps – 21012018].




[1]    Perkataan ‘mah, mah’ merupakan perkataan/kalimat cercaan/hardikan dengan maksud mencegah/menghentikan [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawaawiy, 3/193 & 6/34].
[2]    Ibnu Thaahir Al-Maqdiisiy rahimahullah berkata:
قرأت على أبي بكر السمسار بأصبهان، أخبركم جعفر الفقيه قال: سألت أبا القاسم سليمان الطبراني: ما قولك -رحمك الله- فيمن يقول: إن أهل التوحيد يخرجون من النار إلا من يقول: القرآن مخلوق؟ فكتب في جوابه :
من قال: القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم بلا اختلاف بين أهل العلم والسنة؛ لأنه زعم أن الله تعالى مخلوق؛ لأن القرآن كلام الله عز وجل تكلم به وكلم به جبريل الروح الأمين، وأنزله جبريل عليه السلام من عند الله هكذا. قال الله تبارك وتعالى: {نزل به الروح الأمين}، وأنزله جبريل على قلبك، من قال: إنه مخلوق، فهو شر من اليهود والنصارى وعبدة الأوثان، وليس من أهل التوحيد المخلصين الذين أدخلهم الله النار عقوبة منه لأعمال استوجبوا بها النار، فيخرجهم الله من النار برحمته وشفاعة نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وشفاعة الشافعين، ومن زعم أن من يقول: ((إن القرآن مخلوق)) يخرج من النار فهو كافر كمن زعم أن اليهود والنصارى يخرجون من النار.
Aku pernah membacakan (riwayat) kepada Abu Bakr As-Simsaariy di Ashbahaan : Telah mengkhabarkan kepada kalian Ja’far Al-Faqiih, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Qaasim Sulaimaan Ath-Thabaraaniy : “Apa pendapatmu – semoga Allah memberikan rahmat kepadamu – terhadap orang yang mengatakan : Ahli tauhid keluar dari neraka kecuali orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?. Ia menuliskan jawabannya (sebagai berikut) :
‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir kepada Allah yang Maha Agung tanpa ada perselisihan di kalangan ulama dan Ahlus-Sunnah, karena dirinya menyangka (dengan perkataannya itu) Allah adalah makhluk. Al-Qur’an adalah kalaamullah (firman Allah) ‘azza wa jalla yang Allah firmankan dan diucapkan oleh Jibriil Ar-Ruuhul-Amiin. Jibriil ‘alaihis-salaam menurunkannya (Al-Qur’an) dari sisi Allah demikian. Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman : ‘dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)’ (QS. Asy-Syu’araa’ : 193), dan kemudian Jibriil menurunkannya di hatimu. Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia lebih buruk daripada Yahudi, Nashara, dan penyembah berhala. Tidak ada dari kalangan ahli tauhid yang benar-benar ikhlash yang kemudian Allah masukkan ke dalam neraka sebagai satu hukuman kepadanya karena amal perbuatan yang mengkonsekuensikan neraka, (melainkan) akan Allah keluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya, syafa’at Nabi-Nya Muhammad , dan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at. Barangsiapa yang menyangka orang yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah makhluk’ keluar dari (kekekalan adzab) neraka, maka ia kafir seperti halnya orang yang yang menyangka Yahudi dan Nashara keluar dari (kekekalan adzab) neraka” [Al-Hujjah fii Taarikil-Mahajjah, 2/484].
Perkataan Ath-Thabaraaniy ini sekaligus sebagai penjelas perkataan ‘Abbaas An-Nursiy yang menyamakan kedudukan permasalahan tauhid al-asmaa’ wash-shifaat dengan tauhid uluhiyyah.
[3]    Syaadz bin Yahyaa Al-Waasithiy dikatakan Ibnu Hajar maqbuul. Namun yang benar – wallaahu a’lam – dirinya seorang shaduuq, hasan haditsnya, karena Muhammad bin Ismaa’iil Al-Waasithiy (tsiqah) ketika meriwayatkan darinya, ia memujinya; dan Muhammad bin Ismaa’iil satu negeri dengan Syaadz sehingga dirinya lebih mengetahui perihal penduduk negerinya dan (sekaligus) gurunya dibandingkan yang lain. Selain itu, Ahmad bin Hanbal mengenalnya pula [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 122 no. 50 dan Tahdziibut-Tahdziib 4/299-300 no. 525, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 429 no. 2746].
[4]    Yaitu ‘aqidah bahwasannya Allah kelak dapat dilihat di akhirat. Silakan baca artikel 'Aqidah Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat (Ru'yatullah).
[5]    Yaitu pengingkaran terhadap sifat ‘ulluw Allah subhaanahu wa ta’ala.
[6]    Abu Haniifah rahimahullah berkata:
والله يدعى من أعلى لا من أسفل لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء
“Allah ta’ala diseru Allah diseru dari atas (yaitu dengan menengadahkan tangan ke atas ketika berdoa – Abul-Jauzaa’), bukan dari bawah, karena bawah bukan termasuk pensifatan rububiyyah dan uluhiyyah sedikit pun” [Al-Fiqhul-Absath, hal. 40 – melalui buku Haqiiqatut-Tauhiid Baina Ahlis-Sunnah wal-Mutakallimiin oleh ‘Abdurrahiim As-Sulamiy, hal. 114].
‘Aliy Al-Qaariy rahimahullah menyebutkan:
وما روي عن أبي مطيع البلخي أنه سأل أبا حنيفة رحمه الله عمن قال لا أعرف ربي في السماء هو أم في الأرض ، فقال: قد كفر لأن الله تعالى يقول : {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [سورة طه ] ، وعرشه فوق سبع سمواته ، قلت : فإن قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض !، قال : هو كافر لأنه أنكر كونه في السماء فمن أنكر كونه في السماء فقد كفر لأن الله تعالى في أعلى عليين وهو يدعى من أعلى لا من أسفل
Dan apa yang diriwayatkan dari Abu Muthii’ Al-Balkhiy bahwasannya ia pernah bertanya kepada Abu Haniifah rahimahullah tentang orang yang berkata : ‘Aku tidak mengetahui Rabbku di langit ataukah di bumi’. Makai a (Abu Haniifah) berkata : “Sungguh ia kafir, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas 'Arsy” (QS. Thaha : 5), dan ‘Arsy-Nya di atas tujuh langit-Nya”. Aku berkata : “Apabila dirinya berkata : ‘Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, namun aku tidak tahu ‘Arsy itu di langit ataukah di bumi”. Abu Haniifah berkata : “Ia kafir karena mengingkari keberadaan-Nya di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan-Nya di atas langit, sungguh ia telah kafir karena Allah ta’ala di atas tempat yang tertinggi, dan Ia diseru dari atas (yaitu dengan menengadahkan tangan ke atas ketika berdoa – Abul-Jauzaa’), bukan dari bawah” [Syarh Al-Fiqhil-Akbar, hal. 197-198].
[7]    Beberapa waktu lalu beredar video drama yang cukup provokatif dari ‘oknum MUI’ yang mempermasalahkan perkara sifat ‘ulluw dengan bahasa dan pilihan kata ala srimulat. Menyedihkan, tapi lebih dominan konyolnya.
Silakan baca artikel : Berisyarat ke Langit.
[8]    Perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah : [نعلم بالضرورة] ‘kita mengetahui secara pasti’, maksudnya hal itu termasuk al-ma’luum mind-diin nidl-dlaruurah. Di sini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah tetap memberikan ruang ‘udzur kejahilan karena tersebarnya kebodohan dan sedikit ilmu di masa itu dalam perkara tersebut, sehingga hal-hal yang telah jelas diketahui dengan pasti oleh sebagian orang di tempat dan waktu tertentu, ternyata tidak diketahui oleh sebagian yang lain di tempat dan waktu yang lain pula.
[9]    Padahal di lain tempat Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن جحد وجوب بعض الواجبات الظاهرة المتواترة كالصلوات الخمس وصيام شهر رمضان وحج البيت العتيق أو جحد تحريم بعض المحرمات الظاهرة المتواترة كالفواحش والظلم والخمر والميسر والزنا وغير ذلك أو جحد حل بعض المباحات الظاهرة المتواترة كالخبز واللحم والنكاح فهو كافر مرتد يستتاب فان تاب والا قتل وان اضمر ذلك كان زنديقا منافقا لا يستتاب عند اكثر العلماء بل يقتل بلا استتابة إذا ظهر ذلك منه
“Dan barangsiapa yang mengingkari kewajiban sebagian perkara yang diwajibkan yang jelas lagi mutawatir seperti shalat yang lima, puasa bulan Ramadlaan, dan haji di Baitullah; atau mengingkari pengharaman sebagian perkara haram yang jelas lagi mutawatir seperti perbuatan keji, kedhaliman, khamr, judi, zina, dan yang lainnya; atau mengingkari halalnya sebagian perkara halal yang jelas lagi mutawatir seperti roti, daging, dan nikah; maka ia kafir lagi murtad dan ia diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Apabila ia menyembunyikan perbuatannya itu, maka statusnya zindiq munafik, tidak diminta untuk bertaubat menurut jumhur ulama. Bahkan ia langsung dibunuh tanpa diminta bertaubat apabila nampak perkara itu darinya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/405].
Artinya, Syaikhul-Islaam memang mengakui pemberlakuan kaedah ini. Namun dalam hal pengkafiran kepada individu tertentu, tetap harus hati-hati dengan meneliti kondisinya.
[10]   Penjelasan beliau rahimahullah ini sama seperti penjelasan Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah.
NB : Sebagian orang ada yang meriang dengan penjelasan Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy hafidhahullah dan kemudian menuduhnya sebagai Murji’ah. Biasalah, tingkah kaum bingung dalam negeri yang tumpul dalam hujjah andalannya tuduh irjaa'. Salam mumet selalu...

Comments