Iman Antara Ahlus-Sunnah dan Murji’ah


Iman menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah:
1.     Meliputi perkataan dan perbuatan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن أصول أهل السنة أن الدين والإيمان قول وعمل ، قول القلب واللسان وعمل القلب واللسان والجوارح
“Dan termasuk prinsip pokok Ahlus-Sunnah adalah bahwasannya agama dan iman adalah perkataan dan perbuatan, (yaitu) perkataan hati dan lisan serta perbuatan hati dan anggota tubuh” [Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah – melalui At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 89].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan sebegai berikut:
قد دل الكتاب والسنة على ما قاله الشيخ ، وأجمع على ذلك سلف الأمة ، فكم من آية قرآنية وأحاديث نبوية أطلقت على كثير من الأقوال والأعمال اسم الإيمان ، فالإيمان المطلق يدخل فيه جميع الدين ، ظاهره وباطنه ، أصوله وفروعه ، ويدخل فيه العقائد التي يجب اعتقادها في كل ما احتوت عليه من هذا الكتاب ، ويدخل أعمال القلوب كالحب لله ورسوله.
والفرق بين أقوال القلب وبين أعماله: أن أقواله هي العقائد التي يعترف بها القلب ويعتقدها ، وأما أعمال القلب فهي حركته التي يحبها الله ورسوله ، وضابطها محبة الخير وإرادته الجازمة ، وكراهية الشر والعزم على تركه ، وهذه الأعمال القلبية تنشأ عنها أعمال الجوارح ، فالصلاة والزكاة والصوم والحج والجهاد- من الإيمان ، وبر الوالدين وصلة الأرحام والقيام بحقوق الله وحقوق خلقه المتنوعة- كلها من الإيمان. وكذلك الأقوال؛ فقراءة القرآن وذكر الله والثناء عليه والدعوة إلى الله والنصيحة لعباد الله وتعلم العلوم النافعة - كلها داخلة في الإيمان
“Apa yang dikatakan oleh Syaikhul-Islaam telah ditunjukkan dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan kesepakatan salaful-ummah. Betapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiy yang memutlakkan banyak perkataan dan perbuatan dengan nama iman. Keimanan yang mutlak (al-iimaanul-muthlaq) mencakup semua urusan agama, baik yang dhaahir maupun yang batin, yang pokok (ushul) maupun cabang (furuu’). Mencakup pula di dalamnya ‘aqidah-‘aqidah yang mesti diyakini dari setiap yang terkandung dalam kitab ini. Dan masuk di dalamnya perbuatan-perbuatan hati seperti cinta kepada Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Perbedaan antara perkataan hati dan perbuatan hati adalah bahwasannya perbuatan hati merupakan ‘aqidah-‘aqidah yang diakui oleh hati dan diyakininya. Adapun perkataan hati adalah gerakan hati yang dicintai Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketentuannya adalah cinta kepada kebaikan dan keinginan pasti (untuk melakukannya) serta benci kepada kejelekan dan keinginan kuat untuk meninggalkannya. Perbuatan-perbuatan hati inilah yang mendorong perbuatan-perbuatan anggota tubuh seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad – ini termasuk iman. Berbakti kepada orang tua, menyambung silaturahim, dan menunaikan hak-hak Allah dan makhluk yang bermacam-macam; semuanya termasuk iman. Begitu juga dengan perkataan. Membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, berdakwah kepada Allah, menasihati hamba-hamba Allah, dan mempelajri ilmu-ilmu yang bermanfaat, semuanya juga termasuk iman” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 90-91].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
فجعل المؤلف للقلب قولا وعملا، وجعل للسان قولا وعملا.
أما قول اللسان؛ فالأمر فيه واضح، وهو النطق، وأما عمله؛ فحركاته، وليس هي النطق، بل النطق ناشئ عنها إن سلمت من الخرس.
وأما قول القلب؛ فهي اعترافه وتصديقه، وأما عمله؛ فهو عبارة عن تحركه وإرادته؛ مثل الإخلاص في العمل؛ فهذا عمل القلب، وكذلك التوكل والرجاء والخوف؛ فالعمل ليس مجرد الطمأنينة في القلب، بل هناك حركة في القلب.
وأما عمل الجوارح؛ فواضح، ركوع، وسجود، وقيام، وقعود، فيكون عمل الجوارح إيماناً شرعاً؛ لأن الحامل لهذا العمل هو الإيمان.
“Penulis (yaitu Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah) menyatakan adanya perkataan dan perbuatan untuk hati. Begitu pula menyatakan adanya perkataan dan perbuatan untuk lisan.
Perkataan lisan, maka perkaranya jelas, yaitu berupa pengucapan. Adapun perbuatan lisan, maka ia adalah gerakannya, bukan pengucapannya. Bahkan pengucapan yang berasal darinya apabila ia tidak bisu.
Perkataan hati berupa pengakuannya dan pembenarannya. Adapun perbuatan hati berupa ibarat dari gerakan dan keinginannya, semisal ikhlash dalam beramal/berbuat. Inilah perbuatan hati. Begitu juga dengan tawakkal, harap, dan takut (kepada Allah). Perbuatan hati tidak hanya sekedar ketenangan dalam hati, akan tetapi juga terdapat gerakan di dalam hati.
Adapun perbuatan anggota badan, maka ini jelas; seperti rukuk, sujud, berdiri, dan duduk. Perbuatan anggota badan merupakan iman secara syar’iy karena faktor yang mendorong adanya perbuatan ini adalah iman” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah, 2/230].
عَنْ يَحْيَى بْن سُلَيْمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ عَشْرَةً مِنَ الْفُقَهَاءِ عَنِ الإِيمَانِ، فَقَالُوا: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ ". سَأَلْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ ابْنَ جُرَيْجٍ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ الْمُثَنَّى بْنَ الصَّبَّاحِ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ نَافِعَ بْنَ عُمَرَ بْنَ جَمِيلٍ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيَّ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "، وَسَأَلْتُ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ، فَقَالَ: " قَوْلٌ وَعَمَلٌ "
Dari Yahyaa bin Sulaim, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada sepuluh orang fuqahaa’ tentang iman. Mereka menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Sufyaan At-Tsauriy, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Ibnu Juraij, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin ‘Utsmaan, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Al-Mutsannaa bin Ash-Shabbaah, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Naafi’ bin ‘Umar bin Jumail, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Muhammad bin Muslim Ath-Thaaiy, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Maalik bin Anas, lalu ia menjawab : “Perkataan dan perbuatan”. Aku bertanya kepada Sufyaan bin ‘Uyainah, lalu ia pun juga menjawab : “Perkataan dan perbuatan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, no. 1584].
عَنْ وَكِيع يَقُولُ: " أَهْلُ السُّنَّةِ يَقُولُونَ: الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ "
Dari Wakii’, ia berkata : “Ahlus-Sunnah mengatakan : iman adalah perkataan dan perbuatan” [idem, no. 1585].
Dalil yang menyatakan iman terdiri dari perkataan dan perbuatan adalah firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” [QS. Al-Baqarah : 277].
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-A’raaf : 42].
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” [QS. Al-Israa’ : 9].
Dan juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ، بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Iman terdiri dari tujuhpuluh atau enmapuluh cabang lebih. Yang paling utama adalah perkataan Laa ilaha illallaa (tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan dengan kecuali Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].
Tentang ‘aqidah Murji’ah dalam permasalahan ini, Ibnu Mandah rahimahullah berkata:
فَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُرْجِئَةِ: الإِيمَانُ فِعْلُ الْقَلْبِ دُونَ اللِّسَانِ، وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ: الإِيمَانُ فِعْلُ اللِّسَانِ دُونَ الْقَلْبِ، وَهُمْ أَهْلُ الْغِلُوِّ فِي الإِرْجَاءِ، وَقَالَ جُمْهُورُ أَهْلِ الإِرْجَاءِ: الإِيمَانُ هُوَ فِعْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ جَمِيعًا
“Sekelompok orang dari kalangan Murji’ah berkata : iman adalah perbuatan hati saja tanpa lisan. Sekelompok yang lain berkata : iman adalah perbuatan lisan saja tanpa hati. Mereka adalah orang-orang ekstrim dalam pemikiran irjaa’. Mayoritas ahlul-irjaa’ berkata : iman adalah perbuatan hati dan lisan saja” [Al-Iimaan, 1/331].
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata:
وصارت المرجئة على ثلاثة أقوال فعلماؤهم وأئمتهم أحسنهم قولا وهو ان قالوا الايمان تصديق القلب وقول اللسان.
 وقالت الجهمية هو تصديق القلب فقط
 وقالت الكرامية هو القول فقط...
“Kelompok Murji’ah terbagi menjadi tiga pendapat[1]. Para ulama dan imam mereka (yaitu Murji’atul-Fuqahaa’ – Abul-Jauzaa’) yang mempunyai pendapat paling baik (dibandingkan kelompok Murji’ah lainnya) mengatakan iman itu adalah pembenaran dalam hati dan perkataan dengan lisan. Murji’ah Jahmiyyah berkata : iman adalah pembenaran dalam hati saja. Murji’ah Karraamiyyah berkata : iman hanyalah perkataan saja….” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/55-56. Lihat juga Mujmal Masaailil-Iimaan Al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil-‘Aqiidah As-Salafiyyah hal. 11 dan Tabra-atul-Imaam Al-Muhaddits min Qaulil-Murji’ah Al-Muhdats, hal. 6].
Semua kelompok Murji’ah bersepakat dalam mengeluarkan amal dalam nama iman [Majmuu’ Al-Fataawaa 12/471 dan 13/38].
Cabang dari permasalahan ini:
Dikarenakan iman menurut mereka – terutama Murji’ah Jahmiyyah – hanya sekedar pembenaran hati saja, maka kekafiran menurut mereka hanya terbatas pada pendustaan dalam hati saja (kufur takdziib), yaitu karena ketiadaan pembenaran dalam hati.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah saat menyebutkan kekeliruan Murji’ah Jahmiyyah dan yang lainnya dalam masalah ini berkata:
قولهم كل من كفره الشارع فانما كفره لانتفاء تصديق القلب بالرب تبارك وتعالى
“(Yaitu) perkataan mereka setiap orang yang dikafirkan oleh Syaari’ (Allah), maka itu hanyalah disebabkan karena ketiadaan pembenaran dalam hati kepada Rabb tabaaraka wa ta’ala” [idem, 7/365].
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa kekufuran tidak terbatas pada kufur takdziib saja. Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan perinciannya:
الكفر الأكبر خمسة أنواع : كفر تكذيب، وكفر استكبار وإباء مع التصديق، وكفر شك، وكفر نفاق
“Kufur akbar ada lima macam : kufur takdziib, kufur istikbaar wa ibaa’ bersamaan dengan adanya pembenaran, kufur syakk, dan kufur nifaaq” [Madaarijus-Saalikiin, 1/337].
Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah – bersama masyaikh Yordania lainnya dari murid-murid Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah – berkata :
الكفر أنواع : جحود، وتكذيب، وإباء، وشك، ونفاق، وإعراض، واستهزاء، واستحلال؛ كما ذكره أئمة العلم؛ شيخ الإسلام، وتلميذه ابن قيم الجوزية، وغيرهما من أئمة السنة - رحمهم الله - .
Kekufuran bermacam-macam, yaitu : kufur juhuud, takdziib, ibaa', syakk, nifaaq, i'raadl, istihzaa', dan istihlaal; sebagaimana disebutkan oleh para ulama, (di antaranya) Syaikhul-Islaam dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan selain keduanya dari kalangan para imam sunnah – rahimahumullah” [Mujmal Masaailil-Iimaan Al-‘Ilmiyyah, hal. 18. Lihat juga perincian ini dalam Shaihatun Nadziir hal. 47-49 dan At-Tahdziir min Fitnatit-Takfiir hal. 11].[2]
Ahlus-Sunnah juga berpendapat bahwa kekafiran dapat terjadi melalui i’tiqaad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan.
Ibnu Hazm rahimahullah pernah membantah klaim Murji’ah yang menafikkan kekafiran dengan sebab perkataan dan perbuatan:
وأمَّا قولهم إِنَّ شَتْمَ الله تعالى ليس كفراً وكذلك شَتْمَ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، فهو دعوى ، لأن الله تعالى قال : { يَحْلِفُونَ بِاللهِ مَا قَالُوا وَلقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ }. فنصَّ تعالى على أَنَّ من الكلام ما هو كفرٌ.
وقال تعالى: { إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ } . فنصَّ تعالى أَنَّ من الكلام في آيات الله تعالى ما هو كفرٌ بعينِه مسموعٌ .
وقال :{ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ؟ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً } . فنصَّ تعالى على أَنَّ الاستهزاء بالله تعالى أو بآياته أو برسولٍ من رسله كفرٌ مخرجٌ عن الإيمان ولم يقل تعالى في ذلك إِنِّي علمت أَنَّ في قلوبكم كفراً ، بل جعلهم كفاراً بنفس الاستهزاء. ومن ادَّعى غير هذا فقد قوَّل الله تعالى ما لم يقُلْ وكذب على الله تعالى
“Adapun perkataan mereka (yaitu Jahmiyyah dan Murji’ah) : ‘Sesungguhnya mencaci Allah ta’ala bukanlah kekufuran. Begiut juga dengan mencaci Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ – maka itu hanyalah klaim belaka, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam’ (QS. At-Taubah : 74). Dan Allah ta’ala telah me-nash-kan bahwa diantara perkataan ada yang merupakan kekufuran.
Allah ta’ala berfirman : ‘Apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka’ (QS. An-Nisaa’ : 140). Dan Allah ta’ala telah me-nash-kan bahwa diantara pembicaraan tentang ayat-ayat Allah ta’ala yang didengar ada yang merupakan kekufuran itu sendiri.
Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman’. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)” (QS. At-Taubah : 65-66). Dan Allah ta’ala telah me-nash-kan bahwa mengolok-olok Allah ta’ala atau ayat-ayat-Nya atau salah seorang Rasul diantara Rasul-Rasul-Nya merupakan kekufuran yang mengeluarkannya dari keimanan. Allah ta’ala tidak mengatakan dalam masalah itu : ‘Sesungguhnya Aku mengetahui bahwa dalam hati-hati kalian terdapat kekufuran’. Bahkan Allah ta’ala menjadikan mereka kafir dengan sebab perbuatan olok-olok mereka. Barangsiapa yang berpandangan selain dari ini, sungguh ia mengaku-aku atas nama Allah terhadap apa yang tidak Ia katakan dan sekaligus berdusta atas nama Allah ta’ala” [Al-Fishaal, 3/244-245].
Al-Munawiy rahimahullah berkata:
الرِّدَّة لغةً: الرُّجوع عن الشَّيء إلى غيره . وشرعاً قطع الإسلام بنيّةٍ أو قولٍ أو فعلٍ مُكَفِّر
Riddah (keluar dari Islam) secara bahasa artinya kembali dari sesuatu kepada selainnya. Adapun secara syar’iy artinya adalah memutus tali Islam dengan niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran (bagi pelakunya)” [At-Tauqiif ‘alaa Muhimmaatit-Ta’aariif, hal. 176].
Perlu untuk dicatat di sini bahwa perkataan dan perbuatan yang mengkonsekuensikan kekufuran akbar – yang menurut istilah sebagian ulama disebut kufur ‘amaliy – adalah perkataan dan perbuatan yang bertolak belakang dengan keimanan. Adapun yang tidak bertolak belakang dengan keimanan, hanya dihukumi kufur ashghar.[3]
2.     Dapat bertambah dan berkurang.
Abu Bakr Al-Ismaa’iiliy rahimahullah berkata:
ويقولون : إن الإيمان قول وعمل ومعرفة، يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) berkata : ‘Sesungguhnya iman adalah perkataan, perbuatan, dan ma’rifat (keyakinan); bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan” [Kitaabul-I’tiqaad Ahlus-Sunnah, hal. 39].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الإيمان يزيد بالطاعة وينقص بالعصية
“Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan” [Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah – melalui At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 89].
عَنْ عُمَيْرِ بْنِ حَبِيبٍ، قَالَ: " الإِيمَانُ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "، قِيلَ: " مَا زِيَادَتُهُ وَنُقْصَانُهُ "؟ قَالَ: " إِذَا ذَكَرْنَا اللَّهَ فَحَمِدْنَاهُ وَسَبَّحْنَاهُ فَتِلْكَ زِيَادَتُهُ، وَإِذَا غَفَلْنَا وَنَسِينَا فَذَاكَ نُقْصَانُهُ ".
Dari ‘Umair bin Habiib, ia berkata : “Iman dapat bertambah dan berkurang”. Dikatakan : “Apa yang membuatnya bertambah dan berkurang?”. Ia berkata : “Apabila kita berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, menyucikan/mengagungkan-Nya, maka itulah pertambahannya. Namun apabila kita lalai dan lupa, maka itulah pengurangannya” [Diriwayatkan Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 7].
Dalil yang menunjukkan adanya pertambahan iman adalah firman Allah ta’ala:
لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا
Supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya” [QS. Al-Mudatstsir : 31].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” [QS. Al-Anfaal : 2-3].
Adapun dalil yang menunjukkan berkurangnya iman adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ عَرْضَ الْحَصِيرِ فَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَتْ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَتْ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ عَلَى قَلْبَيْنِ أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا لَا يَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرِ أَسْوَدَ مُرْبَدٍّ كَالْكُوزِ مُخْجِيًا وَأَمَالَ كَفَّهُ لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“Fitnah dibentangkan di hati seperti dibentangkannya tikar. Setiap hati yang mengingkarinya maka diberi satu titik putih dan setiap hatinya menyerapnya maka diberi satu titik hitam, hingga hati pun menjadi dua macam : (1) hati putih seperti benda jernih dimana fitnah tidak akan membahayakannya selama langit dan bumi masih ada, dan yang lainnya (2) hati hitam berdebu seperti panci kotor - beliau memiringkan telapak tangan - ia tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali sesuatu yang terserap dari hawa nafsunya" [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/386; shahih. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 144].
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mengacaukan akal pikiran seorang laki-laki yang teguh daripada seorang diantara kalian (wanita)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 304].
Murji’ah berpendapat bahwa iman tidak dapat bertambah, tidak pula berkurang.
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
وَسُئِلَ الأَوْزَاعِيُّ وَأَنَا أَسْمَعُ عَنِ الإِيمَانِ، فَقَالَ: " الإِيمَانُ يَزِيدُ، وَيَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ لا يَزِيدُ، وَلا يَنْقُصُ فَهُوَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ فَاحْذَرُوهُ ".
“Al-Auzaa’iy pernah ditanya - dan waktu itu aku mendengarnya – tentang iman, lalu ia menjawab : “Iman dapat bertambah maupun berkurang. Barangsiapa yang menyangka iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang, maka ia adalah pelaku bid’ah. Waspadalah terhadapnya” [Juz’u Raf’il-Yadain fish-Shalaah, hal. 154].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
المرجئة: هُم الّذين لا يرون الطاعة مِن الْإِيمَان، ويقولون: الْإِيمَان لا يزيد بالطاعة، ولا ينقص بالمعصية
“Murji’ah adalah mereka yang tidak memandang ketaatan termasuk bagian dari iman. Mereka berkata : ‘Iman tidak bertambah dengan ketaatan dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan” [Syarhus-Sunnah, 13/129].
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
والمرجئة تقول: إن العمل ليس من الإيمان وإن مرتكب الكبيرة مؤمن، وإن الإيمان لا يزيد ولا ينقص
“Dan Murji’ah berkata : ‘Sesungguhnya perbuatan tidak termasuk keimanan, orang yang melakukan dosa besar adalah seorang mukmin[4], serta iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/383].
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ إِدْرِيسَ، يَقُولُ: كَذَبَ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ لا يَزِيدُ وَلا يَنْقُصُ
Dari ‘Abdullah bin Idriis, ia berkata : “Telah berdusta orang yang menyangka iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang” [Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ja’far Al-Anbariy dalam Al-Muntaqaa no. 97].
Bahkan, para ulama menjadikan permasalahan ini sebagai pembeda yang jelas antara Ahlus-Sunnah dan Murji’ah.
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ عَنْ مَنْ قَالَ: الإِيمَانُ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ؟ قَالَ: هَذَا بَرِيءٌ مِنَ الإِرْجَاءِ
Dari Ismaa’iil bin Sa’iid, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang orang yang mengatakan : ‘iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia menjawab : “Orang ini telah berlepas diri dari irjaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1007].
Al-Barbahaariy rahimahullah berkata:
ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa yang mengatakan : ‘iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun berkurang’ ; sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’ secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123, 161].
3.     Terdiri dari bagian-bagian dan bercabang-cabang.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأصلهم أن الإيمان يتبعض فيذهب بعضه ويبقى بعضه كما فى قوله عليه الصلاة و السلام يخرج من النار من كان فى قلبه مثقال ذرة من إيمان ولهذا مذهبهم أن الإيمان يتفاضل ويتبعض هذا مذهب مالك والشافعى وأحمد وغيرهم
“Dan asas/pokok agama mereka (Ahlus-Sunnah) adalah bahwa iman terbagi menjadi bagian-bagian, sehingga ketika hilang sebagiannya masih ada sebagian yang lainnya. Hal itu seperti sabda Nabi ‘alaihish-shalaatu was-salaam : ‘Akan keluar dari neraka orang yang dalam hatinya keimanan seberat dzarrah’. Oleh karenanya, madzhab mereka (Ahlus-Sunnah) menyatakan iman bertingkat-tingkat dan terbagi-bagi. Inilah madzhab Maalik, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/270].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
ولما كان الإيمان أصلا له شعب متعددة وكل شعبة منها تسمى إيمانا فالصلاة من الإيمان وكذلك الزكاة والحج والصيام والأعمال الباطنة كالحياء والتوكل والخشية من الله والإنابة إليه حتى تنتهي هذه الشعب إلى إماطة الأذى عن الطريق فإنه شعبة من شعب الإيمان, وهذه الشعب منها ما يزول الإيمان بزوالها كشعبة الشهادة, ومنها ما لا يزول بزوالها كترك إماطة الأذى عن الطريق, وبينهما شعب متفاوتة تفاوتا عظيما منها ما يلحق بشعبة الشهادة ويكون إليها أقرب, ومنها ما يلحق بشعبة إماطة الأذى ويكون إليها أقرب.
“Dan ketika iman merupakan pokok, ia mempunyai cabang yang banyak, dan setiap cabangnya dinamakan iman. Shalat termasuk iman. Begitu juga dengan zakat, haji, puasa, dan amal-amal batin seperti malu, tawakal, takut kepada Allah dan taubat kepada-Nya, hingga cabang ini berakhir pada menyingkirkan gangguan dari jalan. Hal tersebut termasuk cabang dari cabang-cabang keimanan. Cabang-cabang ini diantaranya ada yang menyebabkan hilangnya iman dengan sebab hilangnya cabang tersebut, seperti syahadat. Dan diantaranya, ada yang tidak menyebabkan hilangnya iman dengan hilangnya cabang tersebut seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Diantara keduanya terdapat cabang yang bermacam-macam, yang diantaranya ada yang lebih mendekati cabang syahadat, ada pula yang lebih mendekati cabang menyingkirkan gangguan dari jalan” [Ash-Shalaah, hal. 55].
Bagian-bagian iman tersebut ada yang termasuk pokok iman (ashl) dan cabang iman (far’). Pokok membutuhkan cabang dalam hal kesempurnaannya dan penjagaannya, sedangkan cabang membutuhkan pokok dalam hal eksistensinya/perwujudannya dan sebab keshahihannya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لكن القلب هو الأصل والبدن فرع له والفرع يستمد من أصله والأصل يثبت ويقوى بفرعه كما فى الشجرة التى يضرب بها المثل لكلمة الإيمان قال تعالى ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
“Akan tetapi hati adalah pokok dan (anggota) badan adalah cabangnya. Cabang tergantung dari pokoknya, dan pokok akan teguh dan kuat dengan keberadaan cabangnya sebagaimana sebuah pohon yang dibuat permisalan dengannya kalimat tauhid. Allah ta’ala berfirman : ‘Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya’ (QS. Ibraahiim : 24-25)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/541-542].
Ibnu Mandah rahimahullah berkata:
وَقَالَ أَهْلُ الْجَمَاعَةِ: الإِيمَانُ هِيَ: الطَّاعَاتُ كُلُّهَا بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَسَائِرِ الْجَوَارِحِ، غَيْرَ أَنَّ لَهُ أَصْلًا وَفَرْعًا، فَأَصْلُهُ الْمَعْرِفَةُ بِاللَّهِ وَالتَّصْدِيقُ لَهُ وَبِهِ وَبِمَا جَاءَ مِنْ عِنْدِهِ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ مَعَ الْخُضُوعِ لَهْ وَالْحُبُّ لَهُ وَالْخَوْفُ مِنْهُ وَالتَّعْظِيمُ لَهُ، مَعَ تَرْكِ التَّكَبُّرِ وَالاسْتِنْكَافِ وَالْمُعَانَدَةِ، فَإِذَا أَتَى بِهَذَا الأَصْلِ فَقَدْ دَخَلَ فِي الإِيمَانِ وَلَزِمَهُ اسْمَهُ وَأَحْكَامَهُ، وَلا يَكُونُ مُسْتَكْمِلًا لَهُ حَتَّى يَأْتِيَ بِفَرْعِهِ، وَفَرْعُهُ الْمُفْتَرَضُ عَلَيْهِ أَوِ الْفَرَائِضُ وَاجْتِنَابُ الْمَحَارِمِ
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah berkata : ‘iman adalah seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati, lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’). Pokok iman adalah ma’rifah kepada Allah, membenarkan-Nya dan membenarkan apa yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan; disertai ketundukan kepada-Nya, cinta kepada-Nya, takut akan adzab-Nya, dan pengagungan terhadap-Nya; serta dengan meninggalkan kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang dapat mewujudkan pokok iman ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman dan mengkonsekuensikan padanya nama iman dan hukum-hukumnya. Keimanannya tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan cabang-cabangnya. Cabang-cabang iman tersebut adalah hal-hal yang diwajibkan kepadanya atau kewajiban-kewajiban serta menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331].
Al-Marwadziy rahimahullah berkata:
لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....
Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl (pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan amal-amal…… Dan beliau menjadikan pokok iman berupa syahadat, dan menjadikan seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712].
وَلَكِنَّا نَقُولُ: لِلإِيمَانِ أَصْلٌ وَفَرْعٌ، وَضِدُّ الإِيمَانِ الْكُفْرُ فِي كُلِّ مَعْنَى، فَأَصْلُ الإِيمَانِ الإِقْرَارُ والتصديق، وفرعه إكمال العمل بالقلب، والبدن، فضد الإقرار والتصديق الَّذِي هُوَ أَصْلُ الإِيمَانِ، الْكُفْرُ بِاللَّهِ، وَبِمَا قَالَ، وَتَرْكُ التَّصْدِيقِ بِهِ وَلَهُ
وَضِدُّ الإِيمَانِ الَّذِي هُوَ عَمَلٌ، وَلَيْسَ هُوْ إِقْرَارٌ، كُفْرٌ، لَيْسَ بِكُفْرٍ بِاللَّهِ يَنْقِلُ عَنِ الْمِلَّةِ، وَلَكِنْ كُفْرٌ يُضَيِّعُ الْعَمَلَ كَمَا كَانَ الْعَمَلُ إِيمَانًا، وَلَيْسَ هُوَ الإِيمَانَ الَّذِي هُوَ إِقْرَارٌ بِاللَّهِ فكما كان من ترك الإيمان الذي هو إقرار بالله كافرا يستتاب، ومن ترك الإيمان الذي هو العمل مثل الزكاة، وَالْحَجِّ، وَالصَّوْمِ، أَوْ تَرَكَ الْوَرَعَ عَنْ شُّرْبِ الْخَمْرِ، وَالزِّنَا، فَقَدْ زَالَ عَنْهُ بَعْضُ الإِيمَانِ، وَلا يَجِبُ أَنْ يُسْتَتَابَ عِنْدَنَا، وَلا عِنْدَ مَنْ خَالَفَنَا مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Akan tetapi kita katakan : iman mempunyai pokok (ashl) dan cabang (far’). Dan kebalikan dari iman adalah kekufuran dalam semua maknanya. Maka, pokok iman  adalah pengakuan (iqraar) dan pembenaran (tashdiiq), sedangkan cabangnya adalah penyempurnaan amal dengan hati dan badan. Adapun hal yang berlawanan dengan pengakuan dan pembenaran yang (keduanya) merupakan pokok iman adalah kufur terhadap Allah dan terhadap apa yang Ia firmankan dan meningggalkan pembenaran terhadapnya dan apa yang difirmankan-Nya.
Hal yang berlawanan dengan keimanan yang berupa amal/perbuatan – dan ia bukan termasuk pengakuan (iqraar) – adalah kekufuran. Kekufuran tersebut bukan termasuk jenis kekufuran terhadap Allah yang mengeluarkan dari agama, namun kekufuran yang merusakkan amal sebagaimana amal merupakan keimanan. Yaitu, keimanan yang bukan termasuk keimanan yang berupa pengakuan terhadap Allah. Sebagaimana orang yang meninggalkan keimanan yang berupa pengakuan terhadap Allah adalah kafir dan diminta untuk bertaubat, maka orang yang meninggalkan keimanan yang berupa amal/perbuatan seperti zakat, haji, puasa, atau tidak menjauhkan diri dari minum khamr dan zina; maka hilang darinya sebagian keimanan dan tidak wajib diminta bertaubat (dari kekufuran) menurut kami dan menurut orang yang menyelisihi kami dari kalangan Ahlus-Sunnah” [idem, 2/519].
Adapun Murji’ah berkeyakinan bahwa iman merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi dan tidak bercabang-cabang. Apabila tetap sebagiannya, maka tetap keseluruhannya; dan sebaliknya, apabila hilang sebagian maka hilang keseluruhannya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
إن الإيمان إذا ذهب بعضه ذهب كله، فهذا ممنوع‏.‏ وهذا هو الأصل الذي تفرعت عنه البدع في الإيمان، فإنهم ظنوا أنه متى ذهب بعضه ذهب كله لم يبق منه شيء ثم قالت الخوارج والمعتزلة‏:‏ هو مجموع ما أمر اللّه به ورسوله، وهو الإيمان المطلق كما قاله أهل الحديث؛ قالوا‏:‏ فإذا ذهب شيء منه لم يبق مع صاحبه من الإيمان شيء فيخلد في النار‏.‏ وقالت المرجئة على اختلاف فرقهم‏:‏ لا تذهب الكبائر وترك الواجبات الظاهرة شيئًا من الإيمان؛ إذ لو ذهب شيء منه لم يبق منه شيء فيكون شيئًا واحداً يستوى فيه البر والفاجر‏.‏ ونصوص الرسول وأصحابه تدل على ذهاب بعضه وبقاء بعضه، كقوله‏:‏ ‏"‏يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان‏"‏‏.‏
ولهذا كان أهل السنة والحديث على أنه يتفاضل،
“Adapun perkataan bahwa iman apabila hilang sebagian maka akan hilang seluruhnya, maka ini adalah terlarang. Dan ini merupakan pokok yang bercabang darinya bid’ah di dalam iman, karena mereka (Murji’ah dan yang sepertinya) mengira bahwa apabila sebagian iman hilang, maka akan hilang seluruhnya dan tidak tersisa sedikitpun darinya. Kemudian berkatalah golongan Khawarij dan Mu’tazilah : ‘Iman adalah keseluruhan dari apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia adalah iman muthlaq, sebagaimana dikatakan Ahlul-Hadiits (!!)’. Mereka (Khawarij dan Mu’tazilah) berkata : ‘Apabila hilang sesuatu darinya (iman), maka tidaklah tersisa sedikitpun bagi seseorang bagian dari iman, dan ia kekal di dalam neraka’. Dan Murji’ah dalam semua pecahan kelompoknya berkata: ‘Iman tidak dapat hilang sedikitpun dengan mengerjakan dosa-dosa besar dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang dhahir’. Hal itu dikarenakan seandainya hilang sebagian darinya, maka tidak akan tersisa sedikitpun. Iman (menurut mereka) merupakan satu kesatuan yang mengkonsekuensikan adanya persamaan antara orang yang baik dan orang yang jahat. Dan nash-nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya menunjukkan hilangnya sebagian iman dan menetapkan sebagian lainnya, seperti sabdanya : “Akan keluar dari neraka orang yang masih ada iman seberat dzarrah di dalam hatinya” . Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Hadits berpendapat bahwa iman itu bertingkat-tingkat” [Al-Iimaan, hal. 176].
قالوا لأنه لو دخلت فيه الواجبات العملية لخرج منه من لم يأت بها كما قالت الخوارج ونكتة هؤلاء جميعهم توهمهم أن من ترك بعض الايمان فقد تركه كله
“Mereka (Murji’ah) berkata : Hal itu dikarenakan seandainya kewajiban-kewajiban ‘amaliyyah masuk dalam cakupan iman, niscaya akan keluar darinya (keimanan) orang yang tidak melakukannya sebagaimana halnya perkataan Khawaarij. Permasalahan yang ada pada mereka semuanya itu adalah adanya sangkaan/bayangan mereka bahwa barangsiapa meninggalkan sebagian keimanan mengkonsekuensikan meninggalkan keseluruhannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/471].
وبهذا يتبين الجواب عن شبهة أهل البدع من الخوارج والمرجئة وغيرهم ممن يقول إن الإيمان لا يتبعض ولا يتفاضل ولا ينقص قالوا لأنه إذا ذهب منه جزء ذهب كله لأن الشيء المركب من أجزاء متى ذهب منه جزء ذهب كله كالصلاة إذا ترك منها واجبا بطلت ومن هذا الأصل تشعبت بهم الطرق
 وأما الصحابة وأهل السنة والحديث فقالوا إنه يزيد وينقص كما قال النبي صلى الله عليه و سلم يخرج من النار من كان في قلبه مثقال حبة خردل من إيمان
“Dengan demikian, menjadi jelaslah jawaban terhadap syubhat Ahlul-Bid’ah dari kalangan Khawaarij, Murji’ah, dan yang lainnya yang mengatakan iman tidak terbagi-bagi, tidak bertingkat-tingkat, serta tidak berkurang. Mereka berkata : ‘Hal itu dikarenakan apabila hilang darinya satu pecahan (juz), maka akan hilang keseluruhannya. Sesuatu yang terdiri dari pecahan-pecahan, ketika hilang satu pecahan darinya, maka akan hilang keseluruhannya, sebagaimana shalat yang apabila ditinggalkan satu kewajiban darinya akan menyebabkan batal. Dari pokok pemahaman inilah muncul cabang-cabang keyakinan lainnya.
Adapun pada shahabat, ahlus-sunnah, dan ahli hadits mengatakan iman dapat bertambah dan berkurang sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan keluar dari neraka orang yang dalam hatinya keimanan seberat biji” [Minhaajus-Sunnah, 5/204-205].
وأصل نزاع هذه الفرق فى الإيمان من الخوارج والمرجئة والمعتزلة والجهمية وغيرهم أنهم جعلوا الإيمان شيئا واحدا إذا زال بعضه زال جميعه وإذا ثبت بعضه ثبت جميعه فلم يقولوا بذهاب بعضه وبقاء بعضه كما قال النبى يخرج من النار من كان فى قلبه مثقال حبة من الإيمان
“Dan pokok perselisihan kelompok-kelompok ini dari kalangan Khawaarij, Murji’ah, Jahmiyyah dan yang lainnya dalam permasalahan iman, yaitu mereka menjadikan iman sebagai satu kesatuan yang jika hilang sebagiannya maka hilang keseluruhannya. Apabila tetap sebagiannya, maka tetap keseluruhannya. Mereka tidak mau mengatakan apabila hilang sebagiannya, maka sebagian yang lainnya tetap ada, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan keluar dari neraka orang yang dalam hatinya keimanan seberat biji” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/510].
4.     Berlainan tingkatan/kadarnya di antara manusia.
Ini merupakan konsekuensi dari bertambah dan berkurangnya iman.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” [QS. Faathir : 32].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah berkata:
ولهذا لما كان الإيمان اسمًا لهذه الأمور ترتب عليه أنه يزيد وينقص ، كما هو صريح الأدلة من الكتاب والسنة ، وكما هو ظاهر مشاهد في تفاوت المؤمنين في عقائدهم وأعمال قلوبهم وجوارحهم.
ومن زيادته ونقصه أن قَسّم المؤمنين إلى ثلاث طبقات:
سابقون بالخيرات: وهم الذين أدوا الواجبات والمستحبات ، وتركوا المحرمات والمكروهات ، فهؤلاء المقربون.
ومقتصدون: وهم الذين أدوا الواجبات وتركوا المحرمات.
وظالمون لأنفسهم: وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات مع بقاء أصل الإيمان معهم. فهذا من أكبر البراهين على زيادة الإيمان ونقصه. فما أعظم التفاوت بين هؤلاء الطبقات.
“Oleh karena itu, ketika iman merupakan nama untuk berbagai perkara ini (yaitu perkataan dan perbuatan), maka hal itu berakibat ia dapat bertambah dan berkurang sebagaimana ditunjukkan secara jelas dalam dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagaimana juga telah jelas disaksikan dalam perbedaan orang-orang beriman dalam ‘aqidah mereka serta amal hati dan anggota badan mereka.
Dan diantara dalil bertambah dan berkurangnya iman bahwasannya orang-orang beriman terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.    Orang-orang yang lebih dahulu dalam melakukan kebaikan (saabiquuna bil-khairaat).
Mereka adalah orang-orang yang melakukan perkara yang diwajibkan dan disunnahkan, serta meninggalkan perkara yang diharamkan dan dimakruhkan. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah.
b.    Orang-orang pertengahan (muqtashiduun).
Mereka adalah orang-orang melakukan perkara yang diwajibkan dan meninggalkan perkara yang diharamkan.
c.    Orang-orang yang mendhalimi diri mereka sendiri.
Mereka adalah orang-orang melakukan sebagian perkara yang diharamkan dan luput dari sebagian perkara yang diwajibkan, bersamaan dengan adanya pokok iman dalam diri mereka.
Ini merupakan bukti yang paling kongkrit terhadap bertambah dan berkurangnya iman. Maka, alangkah besarnya perbedaan antara orang-orang yang ada pada tingkatan-tingkatan tersebut” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 91-92].
Adapun kelompok Murji’ah, dikarenakan mereka menyatakan iman tidak dapat bertambah dan berkurang serta iman merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi yang apabila tetap satu bagiannya maka tetap secara keseluruhannya; maka mereka menyamakan semua manusia dalam satu tingkatan keimanan. Semua orang yang beriman adalah sempurna keimanannya. Mereka bahkan menyamakan keimanan seseorang dengan keimanan para nabi dan malaikat.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وقالت المرجئة على اختلاف فرقهم‏:‏ لا تذهب الكبائر وترك الواجبات الظاهرة شيئًا من الإيمان؛ إذ لو ذهب شيء منه لم يبق منه شيء فيكون شيئًا واحداً يستوى فيه البر والفاجر‏.‏ ونصوص الرسول وأصحابه تدل على ذهاب بعضه وبقاء بعضه، كقوله‏:‏ ‏"‏يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان‏"‏‏.‏
ولهذا كان أهل السنة والحديث على أنه يتفاضل،
“Dan Murji’ah dalam semua pecahan kelompoknya berkata : ‘Iman tidak dapat hilang sedikitpun dengan mengerjakan dosa-dosa besar dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang dhahir’. Hal itu dikarenakan seandainya hilang sebagian darinya, maka tidak akan tersisa sedikitpun. Iman (menurut mereka) merupakan satu kesatuan yang mengkonsekuensikan adanya persamaan antara orang yang baik dan orang yang jahat” [Al-Iimaan, hal. 176].
Ishaaq bin Raahuuyah rahimahumullah berkata:
دخلت عَلَى عبد اللَّه بْن طاهر، فقال لي: ما رأيت أعجب من هؤلاء المرجئة، يقول أحدهم: إيماني كإيمان جبريل، والله ما أستجيز أن أقول: إيماني كإيمان يَحْيَى بْن يَحْيَى، ولا كإيمان أَحْمَد بن حنبل.
Aku pernah masuk menemui ‘Abdullah bin Thaahir. Lalu ia berkata kepadaku : “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mengherankan daripada orang-orang Murji’ah itu. Salah seorang diantara mereka berkata : ‘Imanku seperti iman Jibriil. Demi Allah, aku saja tidak membolehkan diriku untuk mengatakan imanku seperti iman Yahyaa bin Yahyaa, tidak pula seperti iman Ahmad bin Hanbal” [Thabaqaatul-Hanaabilah, 1/289].
Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah mengatakan pendapat para imam kaum muslimin yang diambil perkataannya dalam masalah keimanan:
وَالإِيمَانُ يَتَفَاضَلُ، وَالإِيمَانُ قَوْلٌ، وَعَمَلٌ، وَنِيَّةٌ، وَالصَّلاةُ مِنَ الإِيمَانِ، وَالزَّكَاةُ مِنَ الإِيمَانِ، وَالْحَجُّ مِنَ الإِيمَانِ، وَإِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ مِنَ الإِيمَانِ، وَنَقُولُ: النَّاسُ عِنْدَنَا مُؤْمِنُونَ بِالاسْمِ الَّذِي سَمَّاهُمُ اللَّهُ فِي الإِقْرَارِ، وَالْحُدُودِ، وَالْمَوَارِيثِ، وَلا نَقُولُ: حَقًّا، وَلا نَقُولُ: عِنْدَ اللَّهِ، وَلا نَقُولُ: كإِيمانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ، فَإِنَّ إِيمَانَهُمَا مُتَقَبَّلٌ "
“Iman bertingkat-tingkat. Iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat. Shalattermasuk iman, zakat termasuk iman, haji termasuk iman, dan menyingkirkan gangguan dari jalan juga termasuk iman”. Kami berkata : “Manusia di sisi kami adalah orang-orang yang beriman (mukmin) dengan nama yang Allah namakan mereka dalam pengakuan, huduud, dan mawaarits. Kami tidak mengatakan : Mukmin yang hakiki atau mukmin di sisi Allah. Dan kami pun tidak mengatakan : Mukmin seperti imannya Jibriil dan Miikaaiil, karena iman keduanya (pasti) diterima[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-iimaan no. 76].
Dalam kitab Thabaqaatul-Hanaabilah (1/34-35) disebutkan:
وهم الذين يزعمون أن الإيمان قول بلا عمل، وأن الأيمان قول والأعمال شرائع، وأن الإيمان مجرد، وأن الناس لا يتفاضلون فِي إيمانهم، وأن إيمان الملائكة والأنبياء واحد، وأن الإيمان لا يزيد ولا ينقص، وأن الإيمان ليس فيه استثناء، وأن من آمن بلسانه ولم يعمل فهو مؤمن حقا، قول المرجئة، وهو أخبث الأقاويل، وأضله وأبعده من الهدى.
“Mereka (Murji’ah) adalah orang-orang yang menyangka bahwa iman hanyalah perkataan tanpa perbuatan, padahal iman adalah perkataan dan perbuatan-perbuatan yang disyari’atkan. (Mereka juga berkata) : ‘Iman itu tidak bercabang-cabang, manusia tidak berlainan dalam keimanan mereka sehingga iman para malaikat dan para nabi adalah satu. Iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang, tidak pula menerima istitsnaa’. Barangsiapa yang mengatakan dengan lisannya namun tidak beramal, ia adalah seorang mukmin yang hakiki. Perkataan Murji’ah adalah seburuk-buruk perkataan, paling sesat, dan paling jauh dari petunjuk” [selesai].
Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
احْذَرُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ قَوْلَ مَنْ يَقُولُ إِنَّ إِيمَانَهُ كَإِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ، وَمَنْ يَقُولُ: أَنَا مُؤْمِنٌ عِنْدَ اللَّهِ، وَأَنَا مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ هَذَا كُلُّهُ مَذْهَبُ أَهْلِ الإِرْجَاءِ
“Waspadalah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – terhadap perkataan orang yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibriil dan Miikaaiil. Barangsiapa yang berkata : ‘Aku adalah seorang mukmin di sisi Allah dan sempurna keimanannya’; maka semua ini adalah madzhab orang-orang Murji’ah” [Asy-Syarii’ah, 1/312].
Ibnu Baththah rahimahullah berkata:
فَاحْذَرُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ مَنْ يَقُولُ: أَنَا مُؤْمِنٌ عِنْدَ اللَّهِ، وَأَنَا مُؤْمِنٌ كَامِلُ الإِيمَانِ، وَمَنْ يَقُولُ: إِيمَانِي كَإِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ، فَإِنَّ هَؤُلاءِ مُرْجِئَةٌ أَهْلُ ضَلالٍ وَزَيْغٍ وَعُدُولٍ عَنِ الْمِلَّةِ
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ السِّجِسْتَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، قَالَ: " ثَلاثٌ كُلُّهُنَّ بِدْعَةٌ: أَنَا مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ، وَأَنَا مُؤْمِنٌ حَقًّا، وَأَنَا مُؤْمِنٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
“Waspadalah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – terhadap orang yang mengatakan : ‘Aku adalah mukmin di sisi Allah dan aku mukmin yang sempurna imannya’. Dan juga wasapadalah terhadap orang yang mengatakan : ‘Imanku seperti iman Jibriil dan Miikaaiil’. Mereka itu adalah Murji’ah, orang yang tersesat dan menyimpang dari agama.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud As-Sijistaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdil-Malik, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Auzaa’iy, ia berkata : “Ada tiga hal yang semuanya bid’ah : Aku adalah mukmin yang sempurna imannya, aku adalah mukmin yang hakiki, dan aku adalah mukmin di sisi Allah ‘azza wa jalla” [Al-Ibaanah, 1/383].
Cabang dari permasalahan ini:
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa amal merupakan bagian dari iman dimana dalam hal ini jumhur ulama[5] tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat (selain syahadat).
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً
“Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian :
Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu.
Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan.
Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].
Bagian pertama yang dikatakan Al-Baihaqiy adalah pokok iman (ashlul-iimaan) yang menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan, serta bagian kedua dan ketiga adalah furuu’ul-iimaan yang tidak menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan. Telah lewat bahasan mengenai hal ini.
Diantara dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah hadits syafa’at:
يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا
Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at, dan tidak tersisa lagi kecuali Arhamur-Raahimiin (yaitu Allah)’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
Murji’ah mengeluarkan amal dari cakupan iman, sehingga menurut mereka tidak memudlaratkan keimanan seseorang dengan sebab meninggalkan amal (yang termasuk rukun iman yang empat maupun yang lainnya). Bahkan orang tersebut adalah mukmin yang sempurna keimanannya.
Oleh karena itu, ada persamaan dan perbedaan antara (jumhur) Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah dalam permasalahan meninggalkan rukun Islam yang empat:
a.      Persamaan
Keduanya tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat.
b.      Perbedaan.
Murji’ah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat adalah orang yang sempurna imannya dan keimanan mereka seperti keimanan Jibriil dan Miikaaiil. Keimanan orang yang meninggalkan kewajiban amal sama seperti keimanan orang yang mengerjakannnya. Syaikhul-Islaam rahimahullah pernah menjelaskan kesalahan Murji’ah dalam hal ini:
ظنهم أن الإيمان الذى فى القلب يكون تاما بدون العمل الظاهر وهذا يقول به جميع المرجئة
“Prasangka mereka bahwa iman yang ada di dalam hati tetap sempurna meskipun tanpa disertai perbuatan dhahir. Perkataan ini diucapkan oleh semua kelompok Murji’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/364].
Sebelumnya, Ibnu Hazm rahimahullah pernah menjelaskan hal senada:
اختلف الناس في تسمية المذنب من أهل ملتنا، فقالت المرجئة : هو مؤمن كامل الإيمان، وإن لم يعمل خيرا قط، ولا كف عن شر قط
“Manusia berbeda pendapat tentang penamaan orang yang melakukan dosa. Orang Murji’ah berkata : Ia adalah seorang mukmin yang sempurna imannya, meskipun tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun dan tidak pernah menahan diri dari perbuatan jelek sedikitpun” [Al-Fishaal, 3/273].
(Jumhur) Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat adalah orang faasiq yang melakukan berdosa besar yang dengannya dapat mengantarkannya pada kekufuran, serta kurang kurang dalam keimanannya; sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah saat menjelaskan perbedaan ini:
فقالت المرجئة جهميتهم وغير جهميتهم هو مؤمن كامل الايمان وأهل السنة والجماعة على أنه مؤمن ناقص الايمان
“Murji’ah – baik dari kalangan Jahmiyyah maupun selain Jahmiyyah – berkata : ‘Pelaku dosa besar adalah mukmin yang sempurna keimanannya’, sedangkan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah berkata : ‘Pelaku dosa besar adalah mukmin yang kurang keimanannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].
5.     Menerima istitsnaa’.
Maksudnya, seseorang boleh mengatakan : ‘Aku mukmin insyaa Allah’, karena ia tidak memastikan dirinya memiliki keimanan yang hakiki. Adapun Murji’ah, mereka mengharamkan istitsnaa’ karena anggapan mereka bahwa jika seseorang telah beriman, maka iman yang dimilikinya adalah iman yang hakiki dan sempurna.
عَنْ تَمَّامِ بْنِ نَجِيحٍ، قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ الْحَسَنَ الْبَصْرِيَّ، عَنِ الإِيمَانِ، فَقَالَ: الإِيمَانُ إِيمَانَانِ، فَإِنْ كُنْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الإِيمَانِ بِاللَّهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْجَنَّةِ، وَالنَّارِ، وَالْبَعْثِ، وَالْحِسَابِ، فَأَنَا مُؤْمِنٌ، وَإِنْ كُنْتَ تَسْأَلُنِي عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ { 2 } الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ { 3 } أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا، فَوَاللَّهِ مَا أَدْرِي أَنَا مِنْهُمْ أَوْ لا
Dari Tammaam bin Najiih, ia berkata : Seorang laki-laki pernah bertanya tentang iman kepada Al-Hasan Al-Bashriy. Lalu ia (Al-Hasan) berkata : “Iman itu ada dua. Apabila engkau bertanya kepadaku tentang keimanan terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya, surga, neraka, hari kebangkitan, dan hisab; maka aku seorang mukmin (yaitu beriman terhadap semuanya itu). Namun apabila engkau bertanya kepadaku tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya’ (QS. Al-Anfaal : 2-4); maka demi Allah, aku tidak mengetahui apakah aku termasuk mereka ataukah tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad 1/146 dan Syu’abul-Iimaan no. 75].
Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
من صفة أهل الحق ممن ذكرنا من أهل العلم : الاستثناء في الإيمان ، لا على جهة الشك ، نعوذ بالله من الشك في الإيمان ، ولكن خوف التزكية لأنفسهم من الاستكمال للإيمان ، لا يدري أهو ممن يستحق حقيقة الإيمان أم لا ، وذلك أن أهل العلم من أهل الحق إذا سئلوا : أمؤمن أنت ؟ قال : آمنت بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والجنة والنار ، وأشباه هذا ، والناطق بهذا ، والمصدق به في قلبه مؤمن ، وإنما الاستثناء في الإيمان لايدرى أهو ممن يستوجب مانعت الله عز وجل به المؤمنين من حقيقة الإيمان أم لا؟ هذا طريق الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان ، عندهم أن الاستثناء في الأعمال ، لا يكون في القول ، والتصديق بالقلب ؟ وإنما الاستثناء في الأعمال الموجبة لحقيقة الإيمان ، والناس عندهم على الظاهر مؤمنون ، به يتوارثون ، وبه يتناكحون ، وبه تجري أحكام ملة الإسلام
“Di antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama yang telah kami sebutkan adalah bahwa dibolehkan pengecualian dalam iman tetapi bukan untuk keraguan, na’udzubillah. Akan tetapi ber-istitsna’ (pengecualian) dalam iman tidak lain adalah untuk menghindari, jangan sampai mengaku dirinya sampai pada puncak kesempurnaan iman, padahal belum tentu apakah ia sampai kepadanya atau belum. Para ahli ilmu dari ahlul-haq manakala ditanya : ‘Mukminkah engkau ?’; mereka akan menjawab : ‘Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, surga, neraka dan sejenisnya’. Orang yang meyakini ini dan meyakininya dengan hati, maka dia adalah mukmin. Pengecualian dalam iman hanya boleh disampaikan manakala ia tidak mengetahui apakah ia termasuk ke dalam golongan orang yang disifati Allah sebagai mukmin yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya atau tidak. Ini adalah jalan yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in (yang mengikuti mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’ bukan dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang mengantarkan si hamba kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu pada lahirnya beriman, dengannya mereka saling mewaris, dan dengannya mereka saling menikah, serta dengannya berlaku-hukum-hukum Islam” [Asy-Syari’ah, 1/297].
عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَا مُؤْمِنٌ، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: " أَفَأَنْتَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ فَقَالَ: أَرْجُو، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَفَلا وَكَّلْتَ الأُولَى كَمَا وَكَّلْتَ الأُخْرَى؟ "
Dari Al-Hasan, ia berkata : Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Mas’uud : “Aku adalah mukmin”. Maka Ibnu Mas’uud berkata : “Apakah engkau termasuk penghuni surga ?”. Ia menjawab : “Aku berharap demikian”. Ibnu Mas’’ud berkata : “Mengapa engkau tidak menyerahkan perkataanmu yang pertama sebagaimana engkau menyerahkannya pada perkataan kedua ?” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Iimaan no. 9].
Banyak salaf membenci pertanyaan : ‘apakah engkau mukmin ?’, karena pertanyaan seperti ini dulu datang dan dimasyhurkan oleh kelompok Murji’ah.
Abu Daawud As-Sijistaaniy rahimahullah berkata:
سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ لَهُ رَجُلٌ، وَهَذَا لَفْظُ سُلَيْمَانَ وَهُوَ أَتَمُّ: قِيلَ لِي: أَمُؤْمِنٌ أَنْتَ ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، هَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ شَيْءٌ؟ هَلْ النَّاسُ إِلا مُؤْمِنٌ وَكَافِرٌ، فَغَضِبَ أَحْمَدُ، وَقَالَ: هَذَا كَلامُ الإِرْجَاءِ، وَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَآخَرُونَ مُرْجَوْنَ لأَمْرِ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلاءِ؟ ثُمَّ قَالَ أَحْمَدُ: أَلَيْسَ الإِيمَانُ قَوْلا وَعَمَلا؟ قَالَ الرَّجُلُ: بَلَى، قَالَ: فَجِئْنَا بِالْقَوْلِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَجِئْنَا بِالْعَمَلِ؟ قَالَ: لا، قَالَ: فَكَيْفَ تَعِيبُ أَنْ يَقُولَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَيَسْتَثْنِي؟.
Aku pernah mendengar seorang laki-laki berkata kepada Ahmad : “Dikatakan kepadaku : ‘Apakah engkau seorang mukmin ?’. Maka aku menjawab : ‘Ya. Apakah pada diriku ada sesuatu ?. Bukankah manusia hanya terbagi menjadi mukmin dan kafir ?’”. (Mendengar itu) Ahmad marah, lalu berkata : “Ini adalah perkataan irjaa’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah’ (QS. At-Taubah : 106). Siapakah mereka itu ?”. Kemudian Ahmad berkata : “Bukankah iman itu perkataan dan perbuatan ?”. Laki-laki tersebut berkata : “Ya”. Ahmad berkata : “Apakah kita sudah mengatakannya ?”. Laki-laki itu menjawab : “Ya, sudah”. Ahmad berkata : “Apakah kita sudah melakukannya ?”. Laki-laki itu menjawab : “Belum”. Ahmad berkata : “Lantas kenapa engkau menjadikan sebagai satu aib untuk mengucapkan : insya Allah, dan ber-istitsnaa’ ?” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1057].
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahullah berkata:
أَوَّلُ الإِرْجَاءِ تَرْكُ الاسْتِثْنَاءِ
“Awal munculnya irjaa’ adalah meninggalkan istitsnaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1061].
Ahlus-Sunnah dulu dan sekarang sangat mencela kelompok Murji’ah dan pemahamannya ini. Ia merupakan seburuk-buruk pemahaman yang menyamakan orang yang baik dan orang yang jahat dalam keimanan.
قَالَ الأَوْزَاعِيُّ: قَدْ كَانَ يَحْيَى وَقَتَادَةُ يَقُولانِ: " لَيْسَ مِنْ الأَهْوَاءِ شَيْءٌ أَخْوَفُ عِنْدَهُمْ عَلَى الأُمَّةِ مِنَ الإِرْجَاءِ "
Al-Auzaa’iy berkata : Yahyaa dan Qataadah pernah berkata : “Tidak ada sesuatupun dari bisikan hawa nafsu yang lebih menakutkan terhadap umat menurut mereka dibandingkan pemahaman irjaa’” [Diriwayatkan oleh Al-aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/309 no. 337].
عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: مَا ابْتُدِعَتْ فِي الإِسْلامِ بِدْعَةٌ أَضَرُّ عَلَى الْمِلَّةِ مِنْ هَذِهِ يَعْنِي: أَهْلَ الإِرْجَاءِ
Dari Az-Zuhriy, ia berkata : “Tidak ada bid’ah yang diada-adakan dalam Islam yang lebih menimbulkan kerusakan terhadap agama dibandingkan dengan ini, yaitu ahlul-irjaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1740].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: الْمُرْجِئَةُ يَهُودُ الْقِبْلَةِ
Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Murji’ah adalah Yahudi-nya orang Islam” [idem, no. 12].
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, dan semoga dapat menjadi pencerahan terkait isu irjaa’ yang belakangan (kembali) menghangat sehingga kita dapat mengetahui mana irjaa’ yang asli mana pula yang sekedar tuduhan.
Bahan bacaan : Al-Iimaan oleh Ibnu Mandah, Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah oleh Al-Marwadziy, Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa oleh Ibnul-Qayyim, At-Tanbiihaat Al-Lathiifah oleh Asy-Syaikh As-Sa’diy, Syarh Al-‘Aqiidah Al-Wasiithiyyah oleh Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin, At-Takfiir wa Dlawaabithuhu oleh Asy-Syaikh Dr. Ibraahiim Ar-Ruhailiy, Tabra-atul-Imaam Al-Muhaddits min Qaulil-Murji’ah Al-Muhdats oleh Asy-Syaikh Dr. Ibraahiim Ar-Ruhailiy, Manhaj Al-Imaam Asy-Syaafi’iy fii Itsbaatil-‘Aqiidah oleh Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab Al-‘Aqiil, At-Ta’riifu wat-Tanbi’ah oleh Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, Shaihatun Nadziir oleh Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, Murji’atul-‘Ashr oleh Asy-Syaikh Khaalid Al-‘Anbariy, Syarh Alfaadhis-Salaf wa Naqdu Alfaadhil-Khalaf fii Haqiiqatil-Iimaan oleh Asy-Syaikh Dr. Ahmad bin Shaalih Az-Zahraaniy, dan yang lainnya.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai – 25-12015 – 22:02].




[1]      Sebenarnya, kelompok Murji’ah terdiri dari beberapa pecahan, yaitu : Jahmiyyah. Karraamiyyah, Yuunusiyyah, Mariisiyyah, Tuuminiyyah, Syabiibiyyah, Ghailaaniyyah, Syamriyyah, Shaalihiyyah, Tsaubaaniyyah, Najaariyyah, dan Ghassaaniyyah. Silakan baca penjelasannya dalam buku Murji’atul-‘Ashr, 9-29].
[2]      Ini sebagai bantahan terhadap para pendengki yang mengatakan beliau hafidhahullah membatasi kekufuran hanya pada kufur juhuud, takdziib, dan istihlaal qalbiy saja. Sekaligus menunjukkan tidak validnya tahdzir Lajnah Daaimah terhadap dua buku beliau (At-Tahdziir min Fitnatit-Takfiir dan Shaihatun Nadziir) yang mengklaim hal serupa dalam permasalahan ini.
Bagaimana dapat dibenarkan, karena seandainya kita benar-benar membaca dua kitab tersebut niscaya kita tidak akan didapati pembatasan sebagaimana yang dituduhkan. Orang yang membaca dan tidak dipengaruhi fanatik dan taqlid tentu akan merasa heran, darimana tuduhan itu berasal….. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah….. [lihat yang terbaru : Al-Hujjatul-Qaaimah fii Nushrati Al-Lajnah Ad-Daaimah, Cet. 1/1433].
Baca juga penjelasan beliau hafidhahullah saat membela Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dari tuduhan para pendengki dalam kitab At-Ta’riifu wat-Tanbi-ah bi-Ta’shiilaati Al-‘Allaamah Asy-Syaikh Al-Imaam Asadis-Sunnah Al-Humaam Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy fii Masaailil-Iimaan war-Radd ‘alal-Murji’ah, terutama hal. 61-69.
[3]      Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan:
أن الكفر نوعان: كفر عمل وكفر جحود وعناد, فكفر الجحود أن يكفر بما علم أن الرسول جاء به من عند الله جحودا وعنادا من أسماء الرب وصفاته وأفعاله وأحكامه, وهذا الكفر يضاد الإيمان من كل وجه. أما كفر العمل فينقسم إلى ما يضاد الإيمان وإلى ما لا يضاده. فالسجود للصنم والاستهانة بالمصحف وقتل النبي وسبه يضاد الإيمان, وأما الحكم بغير ما أنزل الله وترك الصلاة فهو من الكفر العملي قطعا ولا يمكن أن ينفي عنه اسم الكفر بعد أن اطلقه الله ورسوله عليه فالحاكم بغير ما أنزل الله كافر وتارك الصلاة كافر بنص رسول الله صلى الله عليه وسلم, ولكن هو كفر عمل لا كفر اعتقاد, ومن الممتنع أن يسمي الله سبحانه الحاكم بغير ما أنزل الله كافرا ويسمى رسول الله صلى الله عليه وسلم تارك الصلاة كافرا ولا يطلق عليهما اسم كافر. وقد نفى رسول الله صلى الله عليه وسلم الإيمان عن الزاني والسارق وشارب الخمر وعمن لا يأمن جاره بوائقه, وإذا نفي عنه اسم الإيمان فهو كافر من جهة العمل وانتفى عنه كفر الجحود والاعتقاد وكذلك قوله: "لا ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض". فهذا كفر عمل. وكذلك قوله: "من أتى كاهنا فصدقه أو امرأة في دبرها فقد كفر بما أنزل على محمد". وقوله: "إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما". وقد سمى الله سبحانه وتعالى من عمل ببعض كتابه وترك العمل ببعضه مؤمنا بما عمل به وكافرا بما ترك العمل بت....... فالإيمان العملي يضاده الكفر العملي والإيمان الاعتقادي يضاده الكفر الاعتقادي.
وقد أعلن النبي صلى الله عليه وسلم بما قلناه في قوله في الحديث الصحيح: "سباب المسلم فسوق وقتاله كفر". ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية كما لا يخرج الزاني والسارق والشارب من الملة وإن زال عنه اسم الإيمان, وهذا التفصيل هو قول الصحابة الذين هم أعلم الأمة بكتاب الله وبالإسلام والكفر ولوازمهما فلا تتلقى هذه المسائل إلا عنهم فإن المتأخرين لم يفهموا مرادهم فانقسموا فريقين فريقا أخرجوا من الملة بالكبائر, وقضوا على أصحابها بالخلود في النار, وفريقا جعلوهم مؤمنين كاملي الإيمان فهؤلاء غلوا وهؤلاء جفوا وهدى الله أهل السنة للطريقة المثلى والقول الوسط الذي هو في إذنه كالإسلام في الملل فها هنا كفر دون كفر ونفاق دون نفاق وشرك دون شرك وفسوق دون فسوق وظلم دون ظلم.
“Bahwasannya kekufuran itu ada dua : (1) kufur amal, serta (2) kufur pengingkaran (juhuud) dan penentangan (‘inaad).
Kufur pengingkaran adalah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Rasul dari sisi Allah dengan pengingkaran dan penentangan terhadap nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya. Kekufuran ini bertolak belakang dengan keimanan dari segala sisi. Sedangkan kufur amal dibagi menjadi dua, yaitu yang bertolak belakang dengan iman dan yang tidak bertolak belakang.
Sujud kepada berhala, menghina mushhaf Al-Qur’an, membunuh Nabi dan mencacinya adalah kufur amal yang bertolak-belakang dengan iman. Berhukum dengan selain hukum Allah dan meninggalkan shalat merupakan kufur ‘amaliy, tidak mungkin untuk menafikkan darinya nama kekufuran setelah Allah dan Rasul-Nya memutlakkannya. Hakim yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah adalah kafir dan orang yang meninggalkan shalat pun kafir berdasarkan nash Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ia adalah kufur amal, bukan kufur i’tiqad. Termasuk hal yang menghalangi (adanya kufur i’tiqad) adalah bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala telah menamakan seorang hakim yang tidak berhukum adalah kafir dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, namun tidak memutlakkan terhadap keduanya dengan nama kafir. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menafikkan keimanan bagi pelaku zina, pencuri, peminum khamr, dan orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya. Apabila dinafikkan darinya nama keimanan, maka ia kafir dari segi amal dan dinafikkan dari kufur juhuud  dan i’tiqaad. Seperti halnya sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian kembali pada kekafiran setelahku, dimana sebagian di antara kalian membunuh sebagian yang lain’. Ini adalah kufur ‘amal. Begitu pula sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa salaam : ‘Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yag diucapkannya atau seorang yang mendatangi istrinya melalui duburnya (liwath), sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad’. Dan juga sabda beliau : ‘Apabila seseorang berkata : wahai kafir, maka akan kembali pada salah seorang di antara mereka’. Allah subhaanahu wa ta’ala telah menamakan amal pada sebagian kitab-Nya dan meninggalkan ‘amal sebagai orang beriman (mukmin) dengan apa yang ia kerjakan dan kafir dengan apa yang ia tinggalkan dengannya…….. Maka iman ‘amaliy lawannya adalah kufur ‘amaliy dan iman i’tiqadiy lawannya adalah kufur i’tiqadiy.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan dengan apa yang disabdakannya dalam sebuah hadits shahih : ‘Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran’. Beliau membedakan antara memerangi dan mencela, serta menjadikan salah satu di antara keduanya kefasikan – bukan kekafiran – sedangkan yang lain kekafiran. Dan telah diketahui bahwasannya yang beliau maksudkan dengannya hanyalah kufur ‘amaliy, bukan i’tiqadiy. Kekufuran jenis ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari wilayah Islam dan agama secara keseluruhan; sebagaimana seorang pezina, pencuri, dan peminum khamr tidaklah dikeluarkan dari agama meskipun hilang darinya nama iman. Perincian ini merupakan perkataan shahabat yang mereka itu merupakan umat paling tahu terhadap Kitabullah, Islam, kekufuran dan konsekuensi-konsekuensinya. Permasalahan seperti ini tidaklah diambil kecuali dari mereka. Orang-orang belakangan (muta-akhkhiriin) tidak memahami maksud mereka (para shahabat) sehingga membagi orang-orang menjadi dua golongan : (1) golongan yang mengeluarkan dari agama/millah dikarenakan dosa besar dan menghukumi pelakunya kekal di dalam neraka, (2) golongan yang menjadikan seseorang sebagai mukmin yang sempurna imannya (walaupun melakukan dosa besar). Mereka ini adalah orang-orang yang melampaui batas (yaitu golongan pertama) dan meremehkan (yaitu golongan kedua). Allah memberikan petunjuk kepada Ahlus-Sunnah jalan yang lurus dan perkataan yang tengah, dimana hal ini diibaratkan seperti Islam berada di tengah-tengah antara agama-agama lainnya. Dan di sinilah keberadaan kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin), kemunafikan di bawah kemunafikan, kesyirikan di bawah kesyirikan, kefasikan di bawah kefasikan, dan kedhaliman di bawah kedhaliman” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 56-58].
[4]      Maksudnya, mukmin yang sempurna imannya.
[5]      Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan lima pendapat yang beredar di kalangan Ahlus-Sunnah dalam masalah meninggalkan rukun Islam yang empat:
أحدها أنه يكفر بترك واحد من الأربعة حتى الحج وإن كان فى جواز تأخيره نزاع بين العلماء فمتى عزم على تركه بالكلية كفر وهذا قول طائفة من السلف وهي إحدى الروايات عن أحمد إختارها أبو بكر
 والثاني أنه لا يكفر بترك شيء من ذلك مع الاقرار بالوجوب وهذا هو المشهور عند كثير من الفقهاء من أصحاب ابي حنيفة ومالك والشافعى وهو احدى الروايات عن أحمد اختارها ابن بطة وغيره
والثالث لا يكفر إلا بترك الصلاة وهى الرواية الثالثة عن أحمد وقول كثير من السلف وطائفة من أصحاب مالك والشافعى وطائفة من أصحاب أحمد
 والرابع يكفر بتركها وترك الزكاة فقط
 والخامس بتركها وترك الزكاة إذا قاتل الإمام عليها دون ترك الصيام والحج
Pertama, dikafirkan dengan sebab meninggalkan salah satu diantara empat rukun ini, termasuk haji. Meskipun permasalahan mengakhirkan waktu pelaksanaan haji diperselisihkan para ulama, namun ketika seseorang bertekad untuk meninggalkan haji secara total, maka kafir. Ini adalah pendapat sekelompok dari salaf, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Pendapat ini dipilih oleh Abu Bakr.
Kedua, tidak dikafirkan dengan sebab meninggalkan sesuatu dari keempat rukun tersebut selama masih mengakui kewajibannya. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut banyak fuqahaa’ dari kalangan shahabat Abu Haniifah, Maalik, Syaafi’iy, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Baththah dan yang lainnya.
Ketiga, tidak dikafirkan kecuali jika ia meninggalkan shalat. Pendapat ini merupakan riwayat ketiga dari Ahmad dan juga pendapat banyak ulama salaf, serta sekelompok ulama dari kalangan shahabat Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad.
Keempat, dikafirkan dengan sebab meninggalkan shalat dan zakat saja.
Kelima, dikafirkan dengan sebab meninggalkan shalat dan zakat, yaitu apabila imam memeranginya karena mereka enggan untuk mengerjakan keduanya setelah diseru. Adapun meninggalkan puasa dan haji, tidak dikafirkan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/610-611].

Comments