25 Juli 2012

Hadits Sahur Ketika Adzan Berkumandang


Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2350].
Diriwayatkan juga oleh Ahmad[1] dalam Al-Musnad 2/423 no. 9473 & 2/510 no. 10629, Ath-Thabariy[2] dalam Jaami’ul-Bayaan 3/526 no. 3015, Ad-Daaruquthniy[3] no. 2182, Ibnu Abi Shaabir[4] dalam Al-Fawaaid no. 2, Al-Haakim[5] dalam Al-Mustadrak 1/203 & 1/205 & 1/426, dan Al-Baihaqiy[6] dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8018; dari 5 jalan (Ghassaan bin Ar-Rabii’, Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, ‘Affaan, dan ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats); semuanya dari Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanad riwayat ini hasan, dan shahih dengan penguat yang akan disebut setelahnya.
Berikut keterangan para perawinya :
a.     ‘Abdul-A’laa bin Hammaad bin Nashr Al-Baahiliy, Abu Yahyaa Al-Bashriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)’. Termasuk thaqabah ke-10, dan wafat tahun 236 H/237 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 561 no. 3754].
b.     Ghassaan bin Ar-Rabii’. Ad-Daaruquthniy telah mendla’ifkannya. Di tempat lain ia berkata : “Shaalih”.  Al-Khathiib berkata : “Ia seorang yang mulia, mempunyai keutamaan, dan wara’”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Wafat tahun 226 H [lihat : Taariikh Baghdaad, 14/285-286 no. 6723 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad, hal. 285 no. 175].
c.      Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan bin ‘Amr bin Martsad Al-Qaisiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 205 H/207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imam Ibni Jariir Ath-Thabariy no. 1167 dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
d.     ‘Affaan bin Muslim bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-10, wafat setelah tahun 219 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 681 no. 4659].
e.     ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats Al-Mariidiy Al-Bashriy, Abu Bahr Ash-Shairafiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 631 no. 4275].
f.      Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].
g.     Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 144 H/145 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth : shaduuq [Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].
h.     Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].
i.       Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur dan mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 57 H/58 H/59 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1218 no. 8493].
Khusus periwayatan ‘Affaan dari Hammaad bin Salamah, Ibnu Rajab rahimahumullah berkata :
قال عبد الله بن أحمد : سمعتُ يحيى بن معين يقول : من أراد أن يكتب حديث حماد بن سلمة، فعليه بعفان بن مسلم
“Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin[7] berkata : ‘Barangsiapa yang ingin menulis hadits Hammaad, maka wajib baginya berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/707].
Artinya, hadits ‘Affaan bin Muslim dari Hammaad adalah shahih, karena ia meriwayatkan sebelum ikhtilaath-nya. Selain itu, periwayatannya diunggulkan di kalangan ashhaab Hammaad bin Salamah. Wallaahu a’lam.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad[8] dalam Al-Musnad 2/510 no. 10630, Ath-Thabariy[9] dalam Jaami’ul-Bayaan 3/527 no. 3016, dan Al-Baihaqiy[10] dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8019; semuanya dari jalan Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad bin Salamah, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal hadits sebelumnya, dengan tambahan lafadh dari perawi[11] :
وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”.
Semua perawinya tsiqaat, hanya saja tidak diketahui apakah Rauh mendengar riwayat Hammaad sebelum atau setelah masa ikhtilaath-nya. Akan tetapi, riwayatnya berkesesuaian dan dikuatkan oleh riwayat sebelumnya.
Ammaar bin Abi ‘Ammaar, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Makkiy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-3 [Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 709 no. 4863].
Diriwayatkan pula oleh Ahmad 2/423 : Telah menceritakan kepada kami Ghassaan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Yuunus, darii Al-Hasan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini lemah dengan sebab mursal.
Hadits di atas dishahihkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/205, serta dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 1394 dan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadii’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih 2/374.
Ada yang mengatakan riwayat ini ma’lul berdasarkan perkataan Ibnu Abi Haatim rahimahullah :
وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". قُلْت لأَبِي: وَرَوَى رَوْحٌ أَيْضًا عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ: " وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ ". قَالَ أَبِي: هَذَانِ الْحَدِيثَانِ لَيْسَا بِصَحِيحَيْنِ، أَمَّا حَدِيثُ عَمَّارٍ فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفٌ، وَعَمَّارٌ ثِقَةٌ، وَالْحَدِيثُ الآخَرُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ
Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)’. Aku berkata kepada ayahku : “Dan Rauh juga meriwayatkan dari Hammaad, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisalnya, dan terdapat tambahan padanya : ‘Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”. Ayahku berkata : “Kedua hadits ini tidak shahih. Adapun hadits ‘Ammaar, maka ia berasal dari Abu Hurairah secara mauquuf, dan ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqah. Sedangkan hadits yang lain, tidaklah shahih” [Al-‘Ilal, 2/235-236 no. 240. Juga pada 2/137-138 no. 759].
Jawab : Perkataan Abu Haatim rahimahullah perlu ditinjau kembali, sebab ia tidak menjelaskan apa alasan pendla’ifannya tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sanad riwayat Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hasan; dan inilah riwayat jama’ah yang meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah. Adapun perkataannya bahwa riwayat ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar adalah mauquuf, maka fakta yang ada menyatakan riwayat tersebut marfuu’. Al-Arna’uth dalam takhriij-nya atas Musnad Ahmad (16/368) tidak menemukan riwayat mauquuf yang dimaksudkan oleh Abu Haatim.
Ringkasnya, ta’lil Abu Haatim ini tidaklah diterima.
Ada yang mengatakan bahwa Hammaad bin Salamah mengalami idlthiraab dalam periwayatan.
Jawab : Perkataan ini tidak diterima. Idlthiraab terjadi jika jalan riwayat sampai ke Hammaad bin Salamah sama kuat dan tidak bisa ditarjih. Namun di atas telah dijelaskan bahwa riwayat paling kuat adalah riwayat jama’ah yang di antaranya adalah riwayat ‘Affaan bin Muslim. Selain itu, tidak ada halangan bagi Hammaad meriwayatkan dari beberapa jalan selain riwayat jama’ah [lihat : Al-Jaami’ush-Shahiih oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy, 2/373-374].
Ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut bertentangan dengan ayat :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [QS. Al Baqarah: 187].
Jawab : Hadits tersebut tidaklah bertentangan dengan ayat, karena hadits tersebut merupakan rukhshah pada makanan/minuman yang sedang dikunyah atau yang ada ditangan yang belum terselesaikan (untuk dimakan atau diminum). Tentu lain halnya dengan orang yang telah selesai makan sahur (atau bahkan belum sahur sama sekali), kemudian nampak baginya fajar shaadiq dalam keadaan ia tahu waktu itu merupakan batas larangan untuk makan/minum; ia tidak boleh makan atau minum. Bahkan jika ia makan dan minum dengan sengaja berdasarkan pengetahuannya tersebut di atas, maka batal puasanya, dan wajib ia mengqadla di hari lain. Dua hal ini tentu berbeda. Rukhshah ini seperti yang terdapat dalam hadits :
وَحَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ ".
Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyaadl Al-Laitsiy, dari Muusaa bin ‘Uqbah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila kalian sedang makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan hajatnya, meskipun shalat telah ditegakkan (iqaamah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1986; shahih].
Ada yang mengatakan bahwa hadits di atas dibawa pada pengertian masih bolehnya makan dan minum saat dikumandangkan adzan yang pertama, sebagaimana penjelasan Al-Baihaqiy rahimahullah :
وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ مَحْمُولٌ عِنْدَ عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ -صلى الله عليه وسلم- عَلِمَ أَنَّ الْمُنَادِىَ كَانَ يُنَادِى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَوْلُ الرَّاوِى وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خَبَرًا مُنْقَطِعًا مِمَّنْ دُونَ أَبِى هُرَيْرَةَ أَوْ يَكُونَ خَبَرًا عَنِ الأَذَانِ الثَّانِى وَقَوْلُ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :« إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ». خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أنبأ جَرِيرٌ، وَالْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلالٍ مِنْ سُحُورِهِ، فَإِنَّمَا يُنَادِي لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ، وَيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ "
“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga berkesesuaianlah dengan riwayat : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-haafidh : Telah memberitakan kepada Abul-Fadhl bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salamah : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah memberitakan Jariir dan Al-Mu’tamir bin Sulaimaan, dari Sulaimaan At-Taimiy, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah adzan Bilaal menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan sahurnya, karena Bilaal mengumandangkannya untuk membangunkan orang yang masih tidur dan mengingatkan orang yang sedang shalat” [As-Sunan Al-Kubraa, 4/218].
Jawab : Hadits tersebut memang shahih. Namun membawa hadits di atas pada adzan pertama, maka itu musykil, karena dhahir hadits yang dimaui dengan adzan adalah adzan kedua (telah masuk waktu Shubuh, terbit fajaf shaadiq). Apalagi dalam riwayat ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar telah dijelaskan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan kedua. Selain itu, ada beberapa syawaahid hadits yang menguatkan, yang menafikkan apa yang dikatakan oleh Al-Baihaqiy rahimahullah :
1.     Hadits Abu Umaamah radliyallaahhu ‘anhu.
حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، قَالَ: ثَنَا الْحُسَيْنُ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، قَالا جَمِيعًا، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: " أُقِيمَتِ الصَّلاةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ، قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَشَرِبَهَا "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Waadlih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, ia berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Waaqid; keduanya (Yahyaa bin Waadlih dan ‘Aliy bin Al-Hasan dari jalur Al-Husain) dari Abu Ghaalib, dari Abu Umaamah, ia berkata : ““Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ‘Apakah aku boleh meminumnya?’. Beliau menjawab : ‘Boleh’. Maka Umar pun meminumnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 3/527 no. 3017].
Riwayat ini terdiri dari dua jalan dari Al-Husain bin Waaqid. Pertama, dari jalan Ibnu Humaid, dan yang kedua, dari jalan Muhammad bin ‘Aliy bin Syaqiiq. Akan tetapi jalan pertama yang berasal dari Ibnu Huimaid adalah lemah atau bahkan sangat lemah. Ibnu Humaid namanya : Muhammad bin Humaid bin Hayyaan, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy; termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 839 no. 5871]. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadits, dan bahkan ada yang mendustakannya.[12]
Adapun jalan riwayat yang lain, maka sanadnya hasan. Berikut keterangan perawinya :
a.      Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, shaahibul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 250 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6190].
b.      ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 215 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 692 no. 4740].
c.      Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (lahu auhaam). Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 157 H/159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim (dalam mutaba’ah kitab Shahih-nya), Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 251 no. 1367]. Namun yang tepat, ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits, karena beberapa kritikan para ulama tentang dirinya.[13]
Ibnu Hajar memasukkan Al-Husain dalam jajaran perawi mudallis dalam Thabaqaatul-Mudallisiin no. 8, yaitu pada thabaqah pertama. Artinya, tadlis yang ia lakukan amatlah jarang, sehingga ‘an’anah riwayatnya tidak membahayakan – kecuali ada qarinah yang kuat bahwa ia melakukan tadlis pada riwayat yang ia bawakan.
d.      Abu Ghaalib Al-Bashriy, shaahibu Abi Umaamah; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Shaduuq, namun sering keliru”. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1188 no. 8362]. Namun yang raajih, haditsnya adalah hasan, dan ia sendiri seorang yang shaduuq.[14]
2.     Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيدُ الصِّيَامَ، وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ، فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ، قَالَ جَابِرٌ: كُنَّا نُحَدَّثُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لِيَشْرَبْ "
Telah menceritakan kepada kamu Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Abuz-Zubair, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jaabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum, kemudian ia mendengar adzan. Jabir menjawab : “Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda : ‘Hendaklah ia minum’” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/348].
Diriwayatkan juga oleh Thaahir bin Muhammad dalam An-Nuskhah no. 23 : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, selanjutnya seperti riwayat di atas.
Sanad riwayat ini lemah, karena faktor Ibnu Lahii’ah. Namanya adalah : ‘Abdullah bin Lahii’ah bin ‘Uqbah Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Nashr Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 174 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 538 no. 3587].
Jika yang meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah itu adalah salah satu dari Al-‘Abadillah (empat orang yang bernama ‘Abdullah), maka riwayat itu diterima (karena mereka meriwayatkan sebelum kitab-kitab Ibnu Lahi’ah terbakar). Al-‘Abaadillah tersebut adalah : ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, ‘Abdullah bin Yazid Al-‘Adawiy Al-Makkiy, dan ‘Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy. Keempat orang ini termasuk para perawi Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahiih-nya.
Adapun Abuz-Zubair, namanya adalah : Muhammad bin Muslim bin Tadrus Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abuz-Zubair Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, namun sering melakukan tadlis.[15] Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 895 no. 6331].
3.     Hadits mursal Al-Hasan.
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ أَبِي مُوسَى، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِي، وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ، قَالَ: اشْرَبْ "
Dari Ibnu ‘Uyainah, dari Israaiil Abu Muusaa, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah berkata seorang laki-laki : “Wahai Rasulullah, muadzdzin telah mengumandangkan adzan sedangkan gelas masih ada di tanganku dan aku berniat untuk berpuasa ?”. Beliau bersabda : “Minumlah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 4/172-173 no. 7369].
Sanad riwayat di atas adalah lemah dikarenakan mursal, namun semua perawinya tsiqaat :
a.      Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
b.      Israaiil bin Muusaa, Abu Muusaa Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [taqriibut-Tahdziib, hal. 134 no. 404].
c.      Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1237].
Ada kemungkinan perantara Al-Hasan tersebut adalah Jaabir bin ‘Abdillah sebagaimana riwayat yang kedua, karena Al-Hasan Al-Bashriy dikenal mempunyai periwayatan darinya. Matan yang dibawakannya pun berdekatan. Jika memang benar perantara tersebut adalah Jaabir, maka hadits tersebut adalah shahih.
Tiga hadits di atas menjelaskan makna hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan kedua, bukan adzan pertama. Dan berikut terdapat beberapa atsar shahabat selaras dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, di antaranya :
1.     Atsar Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ جُمَيْعٍ، قَالَ: ثَنَا أَبُو الطُّفَيْلِ أَنَّهُ تَسَحَّرَ فِي أَهْلِهِ فِي الْجَبَّانَةِ، ثُمَّ جَاءَ إلَى حُذَيْفَةَ وَهُوَ فِي دَارِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، فَوَجَدَهُ: فَحَلَبَ لَهُ نَاقَةً فَنَاوَلَهُ، فقَالَ: إنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فقَالَ: وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ فَشَرِبَ حُذَيْفَةُ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَدَفَعَ إلَى الْمَسْجِدِ حِينَ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Jumai’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abuth-Thufail : Bahwasannya ia pernah sahur bersama keluarganya di Al-Jabbaanah. Kemudian ia mendatangi Hudzaifah yang waktu itu berada di rumah Al-Haarits bin Rabii’ah. Ia pun mendapatinya, lalu diperaskan untuknya susu onta betina, dan diberikan kepadanya. Abuth-Thufail berkata : “Sesungguhnya aku berniat akan berpuasa”. Hudzaifah berkata : “Aku pun berniat akan berpuasa”. Kemudian Hudzaifah meminumnya dan ia (Abuth-Thufail) mengambilnya dengan tangannya (ikut minum). Lalu mereka pun berjalan menuju masjid ketika shalat telah ditegakkan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9028].
Sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat, kecuali Al-Waliid bin Jumai’. Selengkapnya, berikut keterangan para perawinya :
a.      Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 129/130 H, dan wafat tahun 218 H/219 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].
b.      Al-Waliid bin ‘Abdilah bin Jumai’ Az-Zuhriy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Tahriirut-Taqriib, 4/63 no. 7432].
c.      ‘Aamir bin Waatsilah bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Jahsy, Abuth-Thufail Al-Laitsiy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 478 no. 3128].
Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu makan sahur bersamaan dengan terbitnya fajar, dan kemudian melanjutkannya hingga selesai, lalu mendatangi masjid dalam keadaan shalat telah ditegakkan. Ada kisah lain yang menguatkan dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu :
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَأَبُو السَّائِبِ، قَالا: ثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ حُذَيْفَةَ إِلَى الْمَدَائِنِ فِي رَمَضَانَ، فَلَمَّا طَلَعَ الْفَجْرُ، قَالَ: هَلْ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ آكِلٍ، أَوْ شَارِبٍ؟ قُلْنَا: أَمَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَصُومَ فَلا. قَالَ: لَكِنِّي، قَالَ: ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى اسْتَبْطَأْنَا الصَّلاةَ، قَالَ: هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يُرِيدُ أنْ يَتَسَحَّرَ؟ قَالَ: قُلْنَا أَمَّا مَنْ يُرِيدُ الصَّوْمَ فَلا. قَالَ: لَكِنِّي ! ثُمَّ نَزَلَ فَتَسَحَّرَ، ثُمَّ صَلَّى "
Telah menceritakan kepada kami Hannaad dan Abus-Saaib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah keluar safar bersama Hudzaifah ke negeri Madaain pada bulan Ramadlaan. Ketika fajar terbit, ia berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak makan atau minum ?”. Kami menjawab : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku (akan makan dan minum)”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan hingga melambatkan shalat. Hudzaifah kembali berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak sahur ?”. Kami berkata : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku mau makan sahur”. Kemudian ia berhenti dan makan sahur, lalu melaksanakan shalat” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/518 no. 2999].
Sanad riwayat ini shahih, perawinya tsiqaat :
a.      Hannaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 243 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1025 no. 7370].
b.      Abus-Saaib namanya adalah : Salm bin Junaadah bin Salm bin Khaalid bin Jaabir bin Samurah As-Suwaa’iy Al-‘Aamiriy, Abus-Saaib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun kadang menyelisihi. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 174 H, dan wafat tahun 254 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 396 no. 2477].
c.      Abu Mu’aawiyyah namanya adalah : Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].
d.      Al-A’masy namanya adalah : Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi‘aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].
e.      Ibraahiim bin Yaziid bin Syariik At-Taimiy, Abu Asmaa’ Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun ia sering melakukan irsaal dan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 192 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 271]. Namun penghukuman Ibnu Hajar bahwa Ibraahiim sering melakukan tadliis perlu ditinjau kembali, sebab tidak ada ulama mutaqaddimiin yang mensifati Ibraahiim dengan tadliis. Bahkan Ibnu Hajar tidak memasukkannya dalam Thabaqaatul-Mudallisiin [Tahriirut-Taqriib, 1/102-103 no. 269].
f.      Ayah Ibraahiim namanya : Yaziid bin Syariik bin Thaariq At-Taimiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat pada masa kekhilafahan ‘Abdul-Malik. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1076 no.7780].
Catatan : Dalam riwayat Ath-Thabariy yang lain (3/518-519 no. 3000), Al-A’masy telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari Ibraahiim :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: رُبَّمَا شَرِبْتُ بَعْدَ قَوْلِ الْمُؤَذِّنِ يَعْنِي فِي رَمَضَانَ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ.قَالَ: وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَفْعَلَ لَهُ مِنَ الأَعْمَشِ، وَذَلِكَ لَمَّا سَمِعَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ.....
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : “Kadang-kadang aku minum – dalam bulan Ramadlaan - setelah muadzdzin berkata : qad qaamatish-shalaah”. Ia (Abu Bakr) berkata : “Dan aku tidak pernah melihat seorang pun yang melakukannya kecuali Al-A’masy. Hal tersebut disebabkan ketika ia mendengar (riwayat) : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : “……(al-atsar)…” [selesai].
Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan perawinya :
a.      Abu Kuraib namanya adalah : Muhammad bin Al-‘Alaa’ bin Kuraib Al-Hamdaaniy, Abu Kuraib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 247 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 885 no. 6244].
b.      Abu Bakr bin ‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, namun ketika beranjak tua, hapalannya berubah/jelek, dan kitabnya adalah shahih. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 95 H/96 H/100 H, dan wafat tahun 194 H atau dikatakan setahun atau dua tahun sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042].
2.     Atsar Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ، قَالَ: " أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ فِي دَارِهِ فَأَخْرَجَ لَنَا فَضْلَ سُحُورِهِ فَتَسَحَّرْنَا مَعَهُ فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَخَرَجْنَا فَصَلَّيْنَا مَعَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Asy-Syaibaaniy, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Aku mendatangi ‘Abdullah di rumahnya, lalu ia menyuguhi kami kelebihan makan sahurnya, lalu kami pun sahur bersamanya. Setelah itu shalat diiqamati, maka kami pun keluar dan shalat bersamanya” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9024].
Atsar ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :
a.    Abu Mu’aawiyyah namanya adalah : Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].
b.    Asy-Syaibaaniy namanya adalah : ‘Uraif bin Dirham Al-Jammaal, Abu Hurairah Al-Kuufiy. Abu Ahmad Haakim berkata : “Tidak kokoh (laisa bil-matiin)”. Yahyaa bin Sa’iid mengatakan ia meriwayatkan hadits munkar dari Jabalah. Al-‘Uqailiy menyebutkan hadits munkar yang diingkari oleh Yahyaa bin Sa’iid adalah dari Jabalah dari Ibnu ‘Umar tentang onta. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits, tidak mengapa dengannya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/44 no. 246 dan Lisaanul-Miizaan, 5/430 no. 5198].
c.    Jabalah bin Suhaim At-Taimiy/Asy-Syaibaaniy, Abu Suwairah/Abu Sariirah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 125 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 194 no. 905].
d.    ‘Aamir bin Mathar Al-Bakriy Al-Kuufiy Asy-Syaibaaniy. ‘Abdurrahmaan bin Al-Hakam berkata tentangnya : “Seorang laki-laki yang mempunyai kedudukan di kalangan kaum muslimin”. Ibnu Sa’d berkata : “Sedikit haditsnya”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, sedangkan sejumlah perawi tsiqaat meriwayatkan darinya, di antaranya : Asy-Sya’biy, Jabalah bin Suhaim, dan Sulaimaan Asy-Syaibaaniy. Al-Haakim menshahihkan haditsnya. Oleh karena itu, ia seorang yang shaduud, hasanul-hadiits [Al-Mustadrak 4/459, Al-Jarh wat-Ta’diil 5/328 no. 1825 dan Lisaanul-Miizaan 4/381 no. 4057].
Asy-Syaibaaniy mempunyai mutaba’ah dari :
a.      Mis’ar sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7619 dan dari jalannya Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 9/314-315 :
عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ، ثُمَّ خَرَجْنَا فَأُقِيمَتِ الصَّلاةُ "
Dari Abu Sufyaan, dari Mis’ar, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar Asy-Syaibaaniy, dari ayahnya, ia berkata : Kami pernah makan sahur bersama ‘Abdullah, kemudian kami keluar, lalu shalat pun diiqamati”.
Penyebutan perantara ‘dari ayahnya’ adalah keliru, karena ‘Aamir dalam periwayatan dari Ibnu Mas’uud tidaklah melalui perantaraan ayahnya, sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab taraajim.
b.      Abu Ishaaq Asy-Syaibaaniy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 2/648-649.
Diriwayatkan pula secara marfuu’, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 5220, dan ia mengkritiknya :
حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمٍ، ثنا سَهْلُ بْنُ زَنْجَلَةَ، ثنا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ  عَامِرِ  بْنِ  مَطَرٍ ، قَالَ: " تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاةِ "، كَذَا قَالَ سَهْلٌ، عَنْ وَكِيعٍ، وَرَوَاهُ غَيْرُهُ عَنْ وَكِيعٍ، فَقَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Hayyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Sulaim : Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Zanjalah : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Mis’ar, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami berdiri untuk melakukan shalat (Shubuh)”. Abu Nu’aim berkata : “Begitulah yang dikatakan Sahl dari Wakii’. Dan telah diriwayatkan dari selainnya dari Wakii’, dan ‘Aamir berkata : ‘Kami pernah makan sahur bersama Ibnu Mas’uud’ – inilah yang benar” [selesai].
Atsar ini menjelaskan kepada kita bahwa Ibnu Mas’uud tetap menyelesaikan makan sahurnya hingga kemudian ia mendatangi masjid yang ketika itu shalat telah dimulai.
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
NB : Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, sebagaimana mereka telah berselisih pendapat dalam pemahaman masuknya waktu Shubuh (sebagai batas waktu diharamkannya makan dan minum).
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – 25072012].


[1]      Riwayatnya adalah :
2/243 no. 9473 :
حَدَّثَنَا غَسَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ يُونُسَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ الْأَذَانَ، وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَدَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ مِنْهُ "
2/510 no. 10629 :
حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "
[2]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ الأَهْوَازِيُّ، قَالَ: ثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: ثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "
[3]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مِرْدَاسٍ، ثنا أَبُو دَاوُدَ، ثنا عَبْدُ الأَعْلَى، ثنا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". قَالَ أَبُو دَاوُدَ: أَسْنَدَهُ رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، كَمَا قَالَ عَبْدُ الأَعْلَى
[4]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ، ثنا عَبْدُ الأَعْلَى، ثنا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءَ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "
[5]      Riwayatnya adalah :
1/203 :
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّغَانِيُّ، ثنا عَفَّانُ، وَحدثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أَنْبَأَ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ جَعْفَرٍ، ثنا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ غِيَاثٍ، قَالا: ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "
1/205 :
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّغَانِيُّ، ثنا عَفَّانُ، وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أَنْبَأَ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَفْصٍ، ثنا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ غِيَاثٍ، قَالا: ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ حَمَّادٌ وَحدثنا عَمَّارُ بْنُ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ، وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
1/426 :
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الْفَقِيهُ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثنا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ النَّرْسِيُّ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
[6]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ، أنبأ أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ الصَّفَّارُ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ النَّرْسِيُّ، ثنا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ. ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ، أنبأ أَبُو جَعْفَرٍ الرَّزَّازُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الرِّيَاحِيُّ، ثنا رَوْحٌ، ثنا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "، قَالَ: وَحَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
[7]      Akan tetapi dalam Al-‘Ilal (no. 4042) disebutkan bahwa yang mengucapkan itu adalah Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, bukan Yahyaa bin Ma’iin rahimahumallah.
[8]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ: وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
[9]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: ثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: ثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ: وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْر
[10]     Riwayatnya adalah :
وَحَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، قَالَ الرِّيَاحِيُّ فِي رِوَايَتِهِ وَزَادَ فِيهِ: وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
[11]     Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhallaa membawakan keterangan bahwa perkataan tersebut berasal dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar.
[12]     Berikut perinciannya :
Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Sebagaimana maklum bahwa kalimat ini di sisi Al-Bukhariy merupakan jarh yang keras. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari (katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad, 2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” [Ahwaalur-Rijaal, hal. 207 no. 382]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no. 5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Dan yang lainnya.
Adapun Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin, dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tautsiq-nya.
[Namun Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin (2/321) menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya”.
Nampaknya inilah pendapat terakhir dari Ahmad bin Hanbal yang mencabut tautsiq-nya dari Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy].
Namun yang raajih adalah pendapat jumhur yang melemahkannya, karena jarh yang mereka berikan adalah jenis jarh yang mufassar (dijelaskan sebabnya). Selengkapnya, silakan baca Tahdziibul-Kamaal, 25/97-108.
[13]     Berikut perinciannya :
Ibnul-Mubaarak sangat memuji dan meninggikan Al-Husain bin Waaqid. Ahmad berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s). Di lain tempat ia berkata : “Ia mempunyai beberapa riwayat yang diingkari”. Di lain tempat ia berkata : “Aku tidak mengingkari hadits Husain bin Waaqid dan Abul-Muniib dari Ibnu Buraidah”. Al-‘Uqailiy berkata : “Ahmad bin Hanbal mengingkari haditsnya”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy dan Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “…..kadang melakukan kekeliruan dalam riwayat-riwayat. Ia menulis hadits dari Ayyuub As-Sikhtiyaaniy dan Ayyuub bin Khuuth. Semua riwayat munkar pada dirinya berasal dari jalur periwayatan Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar. Ayyuub yang dimaksud di sini adalah Ayyuub bin Khuuth, bukan Ayyuub As-Sikhtiyaaniy”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang hasanul-hadiits”. Abu Daawud berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. As-Saajiy berkata : “Fiihi nadhar, ia seorang yang shaduuq namun banyak ragu” [selengkapnya lihat : Tahdziibul-Kamaal, 6/491-495 no. 1346 dan Tahdziibut-Tahdziib, 2/373-374 no. 642]. Adz-Dzahabiy berkata : “Seorang ‘aalim, shaahibul-hadiits” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/211]. Al-Albaaniy berkata : “Ia seorang yang hasanul-hadiitsinsya Allah” [Irwaaul-Ghaliil, 6/272]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Shaduuq, hasanul-hadiits” [Tahriiru At-Taqriib, 1/294 no. 1358].
[14]     Berikut perinciannya :
Ibnu Sa’d berkata : “Munkarul-hadiits”. Ibnu Ma’iin berkata : “Shaalihul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Laisa bil-qawiy”. At-Tirmidziy menghasankan sebagian haditsnya, dan sebagian yang lain menshahihkannya. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku harap tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan berkata : “Tidak boleh berhujjah dengannya kecuali jika berkesesuaian dengan riwayat perawi tsiqaat”. Musa bin Haarun telah mentsiqahkannya [lihat : Tahdzibul-Kamaal 34/170-173 no. 7561 dan Tahdziibut-Tahdziib 12/197-198 no. 904]. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaalihul-hadiits” [Al-Kaasyif, 2/449 no. 6776]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yukthi’ (sering keliru)” [At-Taqriib, hal. 1188 no. 8362]. Al-Albaaniy berkata : “Hasanul-hadiits” [Ash-Shahihah, 1/841]. Basyar ‘Awwaad & Al-Arna’uth berkata : “Dla’iif yu’tabaru bihi” [Tahriirut-Taqrib, 4/249 no. 8298].
[15]     Begitulah yang dikatakan Ibnu Hajar. Namun yang benar, riwayat Abuz-Zubair dari Jaabir bin ‘Abdillah dihukumi bersambung meskipun dengan shighah ‘an’anah.

19 komentar:

  1. Disebutkan diatas:

    dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Aku mendatangi ‘Abdullah di rumahnya, lalu ia menyuguhi kami kelebihan makan sahurnya, lalu kami pun sahur bersamanya. Setelah itu shalat di IQAMATI, maka kami pun keluar dan shalat bersamanya” 

    Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9024

    Disini mereka BARU MULAI MAKAN SAHUR, dan baru selesai makannya ketika iqamah.

    Demikian juga atsar:

    Abuth-Thufail berkata : “Sesungguhnya aku berniat akan berpuasa”. Hudzaifah berkata : “Aku pun berniat akan berpuasa”. Kemudian Hudzaifah meminumnya dan ia (Abuth-Thufail) mengambilnya dengan tangannya (ikut minum). Lalu mereka pun berjalan menuju masjid ketika shalat telah ditegakkan

    Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah keluar safar bersama Hudzaifah ke negeri Madaain pada bulan Ramadlaan. Ketika fajar terbit, ia berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak makan atau minum ?”. Kami menjawab : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku (akan makan dan minum)”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan hingga melambatkan shalat. Hudzaifah kembali berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak sahur ?”. Kami berkata : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku mau makan sahur”. Kemudian ia berhenti dan makan sahur, lalu melaksanakan shalat

    Abu Bakr, ia berkata : “Kadang-kadang aku minum – dalam bulan Ramadlaan - setelah muadzdzin berkata : qad qaamatish-shalaah”. Ia (Abu Bakr) berkata : “Dan aku tidak pernah melihat seorang pun yang melakukannya kecuali Al-A’masy. Hal tersebut disebabkan ketika ia mendengar (riwayat) : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : “……(al-atsar)......"

    Dan dua atsar diatas jelas-jelas mengatakan bahwa mereka BARU MEMULAI SAHUR ketika sudah masuk waktu shubuh. Yang mana jelas disebutkan pada atsar hudzaifah diatas.

    Dan antum berkata di awal artikel:

    "Tentu lain halnya dengan orang yang telah selesai makan sahur (atau bahkan belum sahur sama sekali), kemudian nampak baginya fajar shaadiq dalam keadaan ia tahu waktu itu merupakan batas larangan untuk makan/minum; ia tidak boleh makan atau minum. Bahkan jika ia makan dan minum dengan sengaja berdasarkan pengetahuannya tersebut di atas, maka batal puasanya, dan wajib ia mengqadla di hari lain. Dua hal ini tentu berbeda"

    Bukankah ini justru kontradiktif dengan pernyataan antum diatas?

    Lantas apa BATASAN dan apa YANG MEMBEDAKAN seseorang itu dikatakan "dapat rukhshah" sehingga sahur-nya tersebut tidak membatalkan puasa, dengan seseorang yang tidak dikatakan berhak mendapat rukhshah?

    BalasHapus
  2. Tentang atsar Ibnu Mas'uud, maka itu menunjukkan bahwa para shahabat dulu sering sahur pada akhir waktu, hingga ketika adzan berkumandang, mereka menyelesaikan tetap makan sahur mereka, dan kemudian baru selesai ketika iqamat dikumandangkan.

    Tentang atsar Hudzaifah, maka itu sama dengan yang di atas, bahwa termasuk kebiasaan shahabat untuk makan sahur di akhir waktu. Dan perlu dicatat bahwa Hudzaifah bin Yamaan mempunyai pendapat tentang waktu fajar batas dilarangnya makan dan minum. Ia berpendapat bahwa batas waktu fajar adalah ketika langit telah terang dan berwarna kemerahan.

    Namun apapun itu, atsar-atsar tersebut menunjukkan bahwa para shahabat mempunyai kebiasaan sahur di akhir waktu; dan mereka tetap melanjutkan makan sahur terhadap hidangan yang ada di hadapan mereka, meskipun telah dikumandangkannya adzan atau tampak pada mereka fajar shaadiq (sebagai batas bagi seseorang untuk mulai berpuasa). Berbeda halnya dengan pendapat sebagian ulama yang mengajurkan untuk berhenti atau bahkan memuntahkan makanan/minuman yang ada di mulut ketika mendengar adzan Shubuh telah dikumandangkan atau mengetahui fajar shaadiq telah terbit.

    Wallaahu a'lam.

    BalasHapus
  3. masih belum menjawab pertanyaan:

    "dimana kita bisa membedakan orang yang mendapatkan rukhshah dengan yang tidak mendapatkan rukhshah?"

    tetap saja... penjelasan antum diawal artikel diatas kontradiktif dengan zhahir atsar...

    kalau mengikuti atsar diatas, mengapa tidak konsisten?

    diawal artikel antum tetap melarang memulai makan ketika adzan shubuh? bukankah atsar diatas membolehkan? bahkan bukankah menurut atsar diatas ketika iqamah dikumandangkan boleh memulai sahur?

    makanya yang musykil bagi ana dengan pendapat ini adalah:

    1. tidak mengapa MULAI MAKAN SAHUR, meskipun sudah adzan shubuh..

    bahkan BOLEH pula MULAI MAKAN SAHUR meskipun sedang IQAMAT di masjid, berdasarkan keumuman atsar:

    “Kadang-kadang aku minum – dalam bulan Ramadlaan - setelah muadzdzin berkata : qad qaamatish-shalaah”

    disitu tidak dijelaskan, apakah beliau baru memulai minum, ataukah sedang dipertengahan minum, ataukah diakhir minum.

    Bahkan dalam atsar hudzaifah diatas, bahwa mereka BARU MULAI MINUM pada saat tersebut.

    yang jadi masalah, jika misalkan antum, atau selain antum; tidak sepakat dengan pendapat hudzaifah kapan tentang masuknya fajar shadiq, tapi malah mengikuti atsar beliau diatas, "baru mulai makan, padahal sudah adzan/sudah masuk fajar shadiq atau bahkan iqamah sudah berkumandang"

    kalau hudzaifah sih jelas, beliau berkeyakinan menurut pendapat beliau, bahwa hal tersebut belum masuk waktu fajar.

    Lah.. tapi mereka yang berkeyakinan bahwa pada waktu tersebut sudah masuk waktu fajar, apakah pantas tetap mengamalkan atsar hudzaifah? yakni baru mulai makan dan minum?!

    kalau tidak diberitahukan hal ini, bukankah orang-orang awwam akan berdalih dengan perbuatan hudzaifah diatas tanpa ilmu:

    "ini hudzaifah baru mulai sahur pas iqamah kok..."

    padahal belum tentu mereka sependapat dengan hudzaifah tentang masuknya waktu fajar.

    2. taruhlah, mereka tidak sepakat dengan pendapat hudzaifah (tentang masuknya waktu fajar); dan yang mereka ikuti adalah adzan shubuh, sebagai tanda masuknya fajar shadiq

    maka berdasarkan atsar diatas:

    - TIDAK ADA BATASAN banyaknya makanan atau minuman bagi yang mendapatkan rukhshah...

    yang penting kita sudah memulai makan lima detik sebelum masuk faajar shadiq, maka Silahkan makan dan minum sampai hajatnya terpenuhi berdasarkan keumuman hadits:

    إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ

    karena hadits diatas umum, baik itu makan sahur, ataukah makan selain sahur. maka silahkan dihabiskan makanannya

    3. dan juga, tidak ada pula batasan WAKTU kapan boleh BERHENTI makan dan minum (bagi mereka yang sedang memiliki rukhshah) silahkan tetap makan dan minum untuk menyelesaikan hajat, meskipun selesai makannya ketika shalat shubuh sedang ditegakkan; sebagaimana zhahir atsar diatas.

    bukankah demikian cara pengamalan yang benar tentang atsar diatas, jika kita konsisten?

    BalasHapus
  4. Saya membawakan atsar sebagian shahabat di atas untuk menunjukkan bahwa adzan yang dimaksudkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu adalah adzan kedua, dan ingin menunjukkan bahwa termasuk kebiasaan salaf adalah makan sahur di akhir-akhir waktu. Dan coba saya dibantu dengan komentarnya agar antum juga memperhatikan dalil hadits Abu Umaamah, Jaabir, dan mursal Al-Hasan.

    Kemudian tentang hadits Ibnu Mas'uud, tidak ada pentunjuk sharih di dalamnya bahwa ia menyengaja sahur setelah adzan. Jika antum memahami demikian, coba saya ditolong untuk ditunjukkan di kalimat mana yang menunjukkan demikian. Atsar Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu hanya menunjukkan bahwa ia selesai sahur ketika shalat telah ditegakkan. Itu saja.

    Adapun atsar Hudzaifah, maka tolong ditengok perbedaan di kalangan salaf tentang fajar shaadiq itu sendiri. Berikut riwayat yang menunjukkannya :

    حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بنُ سَلَمَةَ، أَخْبرَنَا عَاصِمُ بنُ بهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بنِ حُبيْشٍ، قَالَ: تَسَحَّرْتُ ثُمَّ انْطَلَقْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَمَرَرْتُ بمَنْزِلِ حُذَيْفَةَ بنِ الْيَمَانِ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ بلَقْحَةٍ فَحُلِبتْ، وَبقِدْرٍ فَسُخِّنَتْ، ثُمَّ قَالَ: ادْنُ فَكُلْ، فَقُلْتُ: إِنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فَقَالَ: وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ، فَأَكَلْنَا وَشَرِبنَا، ثُمَّ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ، فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ، ثُمَّ قَالَ حُذَيْفَةُ: هَكَذَا فَعَلَ بي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: أَبعْدَ الصُّبحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، هُوَ الصُّبحُ غَيْرَ أَنْ لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ، قَالَ: وَبيْنَ بيْتِ حُذَيْفَةَ وَبيْنَ الْمَسْجِدِ كَمَا بيْنَ مَسْجِدِ ثَابتٍ وَبسْتَانِ حَوْطٍ، وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا: وَقَالَ حُذَيْفَةُ: هَكَذَا صَنَعْتُ مَعَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَنَعَ بيَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    [sanad].... Dari Zirr bin Hubaisy, ia berkata : (Satu ketika) aku pernah makan sahur, lalu aku pergi menuju masjid. Aku melewati rumah Hudzaifah bin Al-Yamaan, lalu aku pun masuk menemuinya. Kemudian, ia (Hudzaifah) menyuruh untuk diperaskan susu onta, dan kemudian dipanaskan. Ia berkata : "Mendekatlah, dan makanlah". Aku berkata : "Aku hendak berpuasa". Ia berkata : "Aku pun hendak berpuasa". Lalu kami pun makan dan minum (sahur). Kemudian kami mendatangi masjid, dan shalat pun diiqamati. Hudzaifah berkata : "Beginilah yang Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam lakukan bersamaku". Aku berkata : "Setelah Shubuh ?". Hudzaifah berkata : "Benar, itulah Shubuh, hanya saja matahari belum terbit". Perawi berkata : "Jarak antara rumah Hudzaifah dengan masjid sejauh antara masjid Tsabit dengan kebun Hauth". Dan Hammaad berkata : Berkata Hudzaifah : "Seperti itulah yang aku lakukan bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wa salam dan yang beliau lakukan bersamaku" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/396].

    Dhahir sanad ini hasan, hanya saja sebagian ulama mempermasalahkan status kemarfu'annya. Baik dihukumi marfuu' atau mauquuf di sini didapat satu kejelasan waktu sahur yang dilakukan Hudzaifah adalah di akhir waktu yang saat itu ufuk telah terang hingga Zirr menanyakan bahwa waktu itu telah masuk shalat Shubuh.

    Dengan mengesampingkan pembahasan perbedaan pendapat mengenai waktu fajar shaadiq, dapat diketahui bahwa Hudzaifah mulai makan sahur bukan ketika batas waktu sahur telah berakhir - menurutnya. Namun ia makan sahur pada akhir-akhir waktu hingga Ziir menyangka ia (Hudzaifah) sahur ketika Shubuh telah lewat. Buktinya, Hudzaifah selesai sahur dan kemudian mendatangi masjid ketika iqamat ditegakkan.

    Dari sini kita dapat kejelasan mengenai atsar Hudzaifah tentang safarnya ke negeri Madaain. At-Taimiy (ayah dari Ibraahiim At-Taimiy) menilai bahwa fajar Shubuh, sedangkan Hudzaifah belum. Penilaian ini sama dengan keheranan Zirr bin Hubaisy di atas. Setelah Hudzaifah melihat bahwa fajar shaadiq benar-benar mau terbit (pertanda waktu shalat Shubuh tiba), maka ia pun baru makan sahur, dan kemudian baru melakukan shalat Shubuh.

    BalasHapus
  5. Terkait dengan pertanyaan antum :

    1. Saya tidak menyatakan demikian, dan riwayat yang saya sebutkan demikian pun tidak menyatakan demikian.

    2. Para ulama telah menjelaskan bahwa batasan rukhshah itu sekedar menghabiskan apa yang di tangan atau menghabiskan apa yang sedang dimakan.

    Jika dikatakan rukhshah boleh makan babi ketika dalam kondisi darurat, apakah perlu batasan berapa kilogram daging babi yang boleh dimakan ?. Atau,... kita cukup dengan penjelasan ulama bahwa kadar kebolehannya adalah sekedar cukup untuk mempertahankan hidup saja ?.

    3. Sama dengan di atas.

    =====

    Pertanyaan Anda di atas (terutama no. 2 dan 3) - menurut saya - dikarenakan antum tidak mau menerima konsekuensi hukum yang ada dalam riwayat dan atsar dalam artikel di atas.

    Atau mungkin antum salah paham dengan hadits ini :

    وَحَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ ".

    Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyaadl Al-Laitsiy, dari Muusaa bin ‘Uqbah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila kalian sedang makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan hajatnya, meskipun shalat telah ditegakkan (iqaamah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1986; shahih].

    Ketika menukil hadits di atas, antum mengomentarinya :

    yang penting kita sudah memulai makan lima detik sebelum masuk faajar shadiq, maka Silahkan makan dan minum sampai hajatnya terpenuhi berdasarkan keumuman hadits:

    إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ

    karena hadits diatas umum, baik itu makan sahur, ataukah makan selain sahur. maka silahkan dihabiskan makanannya
    [selesai].

    Saya tidak tahu, apakah komentar di atas mewakili pemahaman antum, ataukah hendak meraba-raba bahwa apa yang saya pahami sesuai dengan apa yang antum katakan di atas.

    Ketika saya membawakan hadits tersebut dalam konteks lain dalam pemahaman rukhshah. Maksudnya : Apakah menjadi musykil ketika QS. Al Baqarah: 187 menerangkan batasan akhir waktu sahur dan berhenti makan dan minum, dan kemudian ada dalil lain yang menyatakan adanya rukhshah untuk memakan sekedar yang ada di tangan atau dihadapannya - sementara dalam kasus lain dinyatakan adanya rukhshah untuk menyelesaikan makan ketika iqamat telah dikumandangkan (terutama sekali bagi yang memegang pendapat wajibnya menghadiri shalat jama'ahg di masjid) ?. Saya mengatakan itu karena ada orang yang menganggap bahwa hadits Abu Hurairah bertentangan dengan QS. Al Baqarah: 187. Jika mereka (yang menyatakan wajibnya menghadiri shalat berjama'ah di masjid) dapat memahami hadits Ibnu 'Umar dapat diamalkan berbarengan dengan dalil-dalil yang menyatakan wajibnya mendatangi shalat berjama'ah ketika adzan dikumandangkan; tapi mengapa mereka tidak bisa memahami kasus sebelumnya.

    Kira-kira begitu jalan logikanya....

    BalasHapus
  6. "...Jika mereka (yang menyatakan wajibnya menghadiri shalat berjama'ah di masjid) dapat memahami hadits Ibnu 'Umar dapat diamalkan berbarengan dengan dalil-dalil yang menyatakan wajibnya mendatangi shalat berjama'ah ketika adzan dikumandangkan; tapi mengapa mereka tidak bisa memahami kasus sebelumnya..."

    Apakah antum tidak termasuk kedalam "mereka" yang mewajibkannya?

    BalasHapus
  7. Orang merasa pintar, namun sukanya debat...

    saya lucu melihat orang ngotot hanya karena masalah sahur, ambil amannya saja... sebelum shalat subuh, tidak usah di dramatisir.. kalaupun memang terpaksa harus sahur ketika adzan.. ya silahkan, kan yang mau kasih pahala Allah... bukan antum antum semua... Islam jangan banyak debat lah.. kita rahmatan lil 'alamin..

    BalasHapus
  8. Assalamualaikum..saya baru bangun saat beberapa menit sebelum adzan subuh karna ada keraguan mau makan sahur atau tidak,, akhirnya saya makan sahur setelah orang baru beberapa menit selesai sholat subuh dengan alasan perut terasa perih dan takut maagh kambuh. Pertanyaanya apakah puasa saya sah dan bisa di lanjutkan ,,ataukah segera di batalkan karna akan sia2....???

    BalasHapus
  9. Wa'alaikumus-salaam.

    Kalau antum mengetahui bahwa adzan/iqamat telah berkumandang, apalagi setelah orang-orang selesai shalat Shubuh;kemudian antum baru mulai makan sahur, maka puasa antum tidak sah. Antum harus mengqadlanya setelah Ramadlan.

    wallaahu a'lam.

    BalasHapus
  10. bismillah...
    Assalamualaikum, semoga Allah memberkahi apa yang telah antum lakukan dalam membawakan tulisan di atas.
    Ada dua pertanyaan ana:
    1. Terkait penjelasan antum:
    "Jika mereka (yang menyatakan wajibnya menghadiri shalat berjama'ah di masjid) dapat memahami hadits Ibnu 'Umar dapat diamalkan berbarengan dengan dalil-dalil yang menyatakan wajibnya mendatangi shalat berjama'ah ketika adzan dikumandangkan; tapi mengapa mereka tidak bisa memahami kasus sebelumnya."
    - hadits Ibnu Umar yang dimaksud yang mana?
    - apa kaitan dengan pembahasan ini?

    2. Apakah semua yang antum tulis di atas adalah hasil penelitian antum sendiri? Termasuk takhrij hadits, beberapa kemusykilan dalam masalah ini, serta jawaban jawabannya?

    Alhamdulillah.

    BalasHapus
  11. wa'alaikumus-salaam.

    1. Hadits Ibnu 'Umar yang diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy. Ada dalam artikel dan juga saya ulang dikomentar. Kaitannya adalah : Hadits itu memberikan rukhshah bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa makan dan meninggalkan makan yang sedang disantap meski adzan ataupun iqaamah dikumandangkan. Sebagian orang yang berpendapat wajibnya menghadiri shalat berjama'ah di masjid dapat memahami dan menerima hadits ini dengan baik. Namun ketika mereka dihadapkan hadits Abu Hurairah (yang dibahas di artikel) yang semisal dengan hadits Ibnu 'Umar, merasa kesulitan memahaminya.

    2. Kalau dikatakan semua, tentu saja tidak. Hampir-hampir, tidak ada satu pun tulisan di dunia ini yang beredar kecuali beristifadah pada tulisan yang telah ada sebelumnya. Tidak ulama, tidak pula penuntut ilmu.

    BalasHapus
  12. Terkait jawaban antum: "Hampir-hampir, tidak ada satu pun tulisan di dunia ini yang beredar kecuali beristifadah pada tulisan yang telah ada sebelumnya", dapatkah antum sertakan "tulisan yang telah ada sebelumnya" dalam masalah ini? Saya tertarik untuk tahu, siapa sajakah yang pernah membahas masalah ini baik dari kalangan mutaqadimin maupun muta'akhirin?

    Jazakallahu khairan atas kesediaan antum menjawabnya.

    akhukum fillah.

    BalasHapus
  13. Kalau yang antum maksud adalah bahasan tentang tema hadits sahur ketika adzan berkumandang, di atas sudah saya isyaratkan beberapa di antaranya, yaitu dalam Ash-Shahiihah no. 1394 dan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadii’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih 2/374. Kemudian coba saya kembangkan berdasarkan kritikan-kritikan yang tidak setuju dengan ijtihad mereka berdua. Kemudian saya kembangkan dan tambah dengan referensi lainnya.

    Adapun ulama sebelum mereka berdua, tentu saja banyak. Khusus untuk pembahasan fiqh nya, banyak dijumpai dalam buku-buku fiqh madzhab atau syarah-syarah hadits.

    BalasHapus
  14. Assalamu'alaikum. Masih agak kurang ngeh tadz. Bisakah dikaitkan dengan rukhshah ketinggalan ikut sholat jamaah manakala makanan telah terhidang? Dimana seseorang diperbolehkan menuntaskan hajatnya yaitu makan.

    Apakah yang diperbolehkan dimakan/diminum saat adzan berkumandang adalah
    a. Apa yang masih berada di mulut
    b. Apa yang ada di tangan/ sendok
    c. Apa yang ada di piring/ gelas

    Mohon penjelasannya ustadz. Barokallohu fiikum

    BalasHapus
  15. Wa'alaikumus-salaam.

    'Illat mendahulukan makan ketika hidangan telah dihidangkan adalah untuk menghilangkan kesibukan hati (dari sesuatu selain shalat) dan ketidakkhusyukan. Jika seseorang tidak terlalu berkeinginan untuk makan sehingga ia dapat menghadirkan hati dan kekhusyukan selama shalat, maka didahulukan shalat. Selengkapnya silakan baca penjelasan di artikel Makan Dulu atau Shalat Dulu ?.

    Adapun hadits yang menjelaskan kebolehan menyelesaikan makan atau minum ketika adzan berkumandang adalah rukhshah sekedar menyelesaikan apa yang ada di hadapan saja. Misalnya, kita sedang makan, lalu adzan berkumandang, maka hendaknya kita selesaikan makan kita yang ada di piring tersebut hingga habis. Begitu juga ketika kita sedang mau minum dan gelas ada di tangan kita, maka silakan minum air yang ada di gelas tersebut sampai habis, baru kemudian berpuasa.

    Seandainya makanan telah terhidangkan di meja dan kita belum memakannya sama sekali, namun fajar atau adzan Shubuh telah mendahului kita; maka kita tidak boleh memakannya. Beda halnya jika kita sedang makan/minum, lalu adzan terdengar, maka hendaknya kita selesaikan makan/minum kita sebagaimana telah disebutkan di atas.

    وَحَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ ".

    Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyaadl Al-Laitsiy, dari Muusaa bin ‘Uqbah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila kalian sedang makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan hajatnya, meskipun shalat telah ditegakkan (iqaamah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1986; shahih].

    Wallaahu a'lam.

    BalasHapus
  16. Jazakallahu khoir, Ustadz Abul Jauzaa'. Semoga Allah merahmati Ustadz. Saya mendapatkan pencerahan dan penguatan dari yang memang sudah sy pahami dari tulisan Ustadz di atas.

    BalasHapus
  17. Afwan Ustadz, mau sedikit bertanya. Dari atsar-atsar sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalaam (Huzaifah, Ibnu Mas'ud), dan lain-lain, seperti yg telah ustadz terangkan di atas, sy mengambil kesimpulan bahwa intinya, masih boleh makan dan minum saat azan subuh berkumandang, terlepas apakah mulai sahurnya sebelum azan atau sesudah azan, tetapi para sahabat tersebut menghentikan makan minum sahurnya setelah iqomat. Apakah benar kesimpulan saya?

    Bisa jadi para sahabat tersebut masih sengaja makan minum saat fajar shadiq sudah terbit (saat azan subuh) karena sunah mengakhirkan sahur. Kalau kita sekarang, mungkin terjadi pada kasus terlambat bangun. Bangunnya pas azan subuh. Mohon penjelasannya. Syukron katsiir

    BalasHapus
  18. Ini dalam kasus ketika sedang sahur (makanan/minuman ada di hadapannya) kemudian adzan berkumandang, maka ia hendaknya selesaikan sahurnya. Wallaahu a'lam.

    BalasHapus